11.27.2009

Masalah setrum tidak akan selesai hanya dengan mengganti Dirut PLN

Masalah kelistrikan di Indonesia bak benang kusut yang butuh ketelitian dan kesabaran untuk meluruskannya kembali. Permasalahan listrik dari tahun ke tahun selalu saja sama. Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku mengalami defisit pasokan listrik lantaran tidak ada investasi di sektor kelistrikan. Bahkan program 10.000 mw tahap pertama belum kunjung selesai. Sementara program 10.000 mw tahap kedua, hingga saat ini belum terbit peraturan presidennya, padahal tahun depan, program ini sudah harus ditenderkan. PLN mengaku dengan selesainya program 10.000 mw tahap pertama dan kedua maka elektrifikasi PLN pada tahun 2014 bisa mencapai 80%.

"Saat ini peraturan presiden 10.000 mw masih ada di tangan menteri keuangan," ujar Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen ESDM, J. Purwono.

Pemerintah seharusnya lebih serius lagi untuk mencari sebenarnya di mana akar masalah dari sistem kelistrikan di Indonesia. Karena masyarakat sudah mulai mengeluh karena ulah perusahaan yang lebih tepat dinamakan perusahaan lilin negara. Siapa yang dirugikan dengan pemadaman tersebut? Jelas, konsumenlah yang mendapatkan kerugian. Berbagai keluhan muncul, mulai dari pengaduan hingga memasang status di facebook yang memprotes kinerja PLN.

Protes keras mengalir dari kalangan industri yang kesehariannya terganggu akibat pemadaman. Industri tekstil, mereka terpaksa mengeluarkan anggaran lebih untuk biaya operasional genset. Industri palstik, pemadaman yang tiba-tiba membuat proses pembuatan plastik menjadi rusak dan tidak sempurna, serta tidak dapat digunakan lagi. Bahkan sampai jasa usaha laundry sekalipun, pemadaman listrik membuat mereka tidak dapat menyelesaikan cuciannya dengan tepat waktu. Tentunya hal ini berimbas pada kerugian materil dan tentu saja, kepercayaan pelanggan.

Meski dirugikan, konsumen hanya mendapatkan diskon 10% bagi mereka yang mengalami pemadaman. Direktur Pembangkitan Jawa dan Bali, Murtaqqi Syamsudin bilang bahwa PLN akan memberikan ganti rugi kepada pelanggan pada bulan berikutnya. Misalnya, pemadaman dilakukan bulan Oktober, maka kompensasi itu bisa dirasakan pada bulan November. Kalangan industri hanya bisa gigit jari ketika kerugian mereka lebih besar ketimbang kompensasi yang mereka dapatkan dari PLN. “Diskon 10% itu tidak bisa menutupi kerugian kita. Apa mau PLN mengganti kerugian yang kita peroleh,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Benny Sutrisno.

Kejadian yang baru saja terjadi ketika dua Gardu Induk di wilayah Jakarta yakni GI Cawang dan GI Krembangan terbakar yang mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir. Direktur Utama PLN, Fahmi Mochtar mengaku tidak memiliki dana investasi yang cukup untuk menambah trafo. Karena kondisi trafo di Jakarta kelebihan beban dan umurnya sudah tua sehingga harus menambah trafo baru. "Untuk menambah 8 trafo baru setidaknya membutuhkan dana sekitar Rp 5,6 triliun," ujar Fahmi.

Bahkan, Presiden juga ikut geram terhadap ulah PLN ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut menegur Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar karena pemadaman listrik terus terjadi sehingga merugikan dunia usaha dan masyarakat pemakainya. Dua hari kemudian Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan telah membentuk tim antar departemen untuk mengevaluasi kinerja direksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Santer terdengar kabar, jika orang nomor satu di PLN, Fahmi Mochtar akan dicopot dan digantikan dengan Dahlan Iskan.

Namun, mengganti direksi bukanlah solusi atas masalah kelistrikan di Indonesia. Karena siapapun yang menjadi direksi, jika ia tidak mengusai permasalahan listrik, maka sia-sia melakukan pergantian direksi. Karena listrik yang byar pet itu masih akan terjadi. Tapi, Mengapa Presiden melakukan pergantian itu ketika listrik Jakarta padam, Padahal, sejak dulu wilayah di luar pulau Jawa mengalami kondisi yang lebih parah.

Contohnya Sumatera dan Kalimantan, pemadaman listrik merupakan santapan sehari-hari bagi mereka. Setiap harinya selama beberapa jam dalam sehari, mereka harus merasakan kehidupan kembali ke zaman purba. PLN mencatat setidaknya ada 11 wilayah di Indonesia yang mengalami defisit listrik. Jumlah defisit mencapai 460,2 mw. Dan wilayah yang paling besar mengalami defisit listrik adalah Sumatera bagian selatan yang mencapai 198,3 mw.

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mengatakan bahwa pergantian direksi tidak akan serta merta menyelesaikan masalah setrum PLN. Yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan perbaikan regulasi dalam sektor energi dan kelistrikan, terutama persoalan keuangan PLN. Jika dilihat lebih dalam lagi, sesungguhnya persoalan PLN cukup kompleks yakni secara internal dan external. Ibarat komputer, pemerintah harus memiliki anti virus yang cukup ampuh untuk membersihkan virus tersebut karena virus itu sudah menjangkiti keseluruhan komputer sehingga merugikan bagi pemakainya.

Secara internal, harus ada yang diperbaiki manajemen PLN. Pemerintah harus mampu menerapkan Good Cooperate Governance yang baik. Kalaupun harus terjadi pergantian direksi, Setidaknya pemerintah harus melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and propher test) calon direksi. Uji kepatutan dan kelayakan itu haruslah dilakukan secara transparan, sehingga masyarakat tahu ukuran-ukuran dan parameter pemerintah yang digunakan untuk menguji calon orang nomor satu di PLN.

Paling tidak, pemerintah memberikan nama-nama yang berkompetisi untuk memperbutkan kursi panas itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya, Bos BUMN yakni Menteri BUMN yang berhak untuk melakukan pergantian direksi, berulang kali mengatakan tidak tahu mengenai proses uji kelayakan dan kepatutan itu. Mustafa mengaku tidak tahu soal 3 calon Dirut yang sudah menghadap Presiden."Saya tidak tahu 3 orang itu. Saya juga tidak tahu mereka datang bertemu Presiden," ujar Mustafa.

Sementara secara eksternal, banyak yang harus diperbaiki oleh pemerintah. Seperti misalnya pasokan gas, batu bara dan minyak bumi yang terpenuhi. Pemerintah harus memiliki kebijakan Domestik Market Obligation (DMO). Bagaimanapun pemerintah harus memprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri. Agus Pambagio mengusulkan supaya minimal 30% dari energi di perut bumi Indonesia harus digunakan untuk bahan bakar pembangkit milik PLN, industri, pupuk, keramik dan sebagainya.“Energi primer itu, dijual dengan harga ekspor terendah,” kata agus.

Pemerintah saat ini kurang tegas untuk mengambil kebijakan DMO. Bahkan kebijakan ESDM soal membatasi kuota ekspor batu bara 30% yang sempat dilontarkan oleh Ditjen Mineral, Batubara dan Panas bumi, Departemen ESDM hanya sekedar kajian. Ibarat masakan, kita memiliki semua bahan-bahannya tetapi kita lebih memilih untuk menjualnya karena harganya cukup menggiurkan sedangkan kita sendiri harus menahan lapar. Apakah kebijakan itu yang dipilih oleh pemerintah? Membiarkan masyarakatnya kekurangan sementara kekayaan kita dijual ke luar negeri.

Contoh nyata adalah ketika PLN mengaku kekurangan pasokan gas untuk pembangkit Muara Karang, Jakarta. Menurut penuturan Fahmi, PLN membutuhkan pasokan gas sebesar 400 mmscfd sedangkan yang baru memperoleh pasokan adalah 132 mmscfd. Padahal banyak ladang gas di Negara ini. Bahkan untuk ini, produksi gas Pertamina bisa meningkat sebesar 8%. Sesama BUMN, seharusnya pemerintah bisa memaksa Pertamina untuk memasok gas ke PLN. Selain itu juga PLN membeli dengan harga keekonomian.

Selain kebijakan DMO, Agus mengusulkan beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sektor kelistrikan di Tanah Air. Yaitu Pertama segala macam bentuk transaksi jual beli listrik harus dilandaskan business to business (b to b) dan tidak perlu ijin Departemen ESDM sebagai pemerintah. Kedua, semua transaksi yang dilakukan PLN semua pajaknya ditanggung negara. Ketiga, kemudahaan perijinan pembangunan pembangkit, dan terakhir dalam melakukan tender PLN harus transparan.

“Jadi sebenarnya tidak perlu ada pergantian. Biarkan Dirut yang lama ini membenahi dan selesaikan masalah yang ada sekarang. Mengganti bukan cara yang tepat untuk selesaikan masalah. Menurut saya, siapa pun Dirutnya kalau itu semua tidak diubah maka akan sia-sia,” imbuh Agus.

Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) harus berfungsi dengan baik. Bappenas harus membuat rencana-rencana untuk memperbaiki setrum di Indonesia. Bappenas harus memetakan wilayah mana saja yang masih memerlukan pembangkit. Karena program 10.000 mw masih difokuskan kepada Pulau Jawa. Padahal daerah luar Jawa mengalami defisit listrik dan jumlah pembangkitnya sedikit. Bappenas harus membuat kebijakan yang merata. Berdasarkan catatan ESDM, wilayah yang ditetapkan sebagai daerah krisis adalah Sumatera yang meliputi Propinsi Nangroe Aceh Darusalam, Bengkulu, Tanjung Balai Karimun. Kemudian Kalimantan (khususnya Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur), Sulawesi Utara, Maluku dam Papua.

Selain itu juga, pemerintah harus melakukan evaluasi kembali terhadap kebijakan tarif dasar listrik. Selama ini tarif dasar listrik dianggap terlalu murah dan jauh dari biaya produksi. Akibatnya bukannya untung, malah PLN rugi dan tidak bisa membuat investasi baru. Padahal subsidi listrik sudah berkurang. Dengan alasan perubahan asumsi harga minyak dan nilai tukar rupiah pada rencana angaran 2009 mengubah besaran subsidi listrik menjadi Rp 51,9 triliun, dari sebelumnya disepakati Rp 60,43 triliun.

Tugas berat kabinet pemerintahan yang baru saat ini adalah mencari jalan keluar soal system kelistrikan di Indonesia. Listrik adalah kebutuhan vital untuk menunjang kondisi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan sebesar 6%, lalu bagaimana bisa mencapai angka pertumbuhan itu jika kelistrikan di dalam negeri tidak segera dibenahi.