12.16.2009

Siap-Siap, Listrik Masih Biarpet hingga 2013

JAKARTA. Bersiap memperbanyak cadangan lilin, senter, dan obor untuk menghadapi pasokan setrum yang byar-pet. Pasalnya, program percepatan 10.000 megawatt (MW) tahap I yang diprediksikan rampung pada akhir 2011 atau awal 2012, sepertinya bakal molor hingga tahun 2013. Padahal kebutuhan listrik terus naik.

"Program 10.000 MW tahap I akan selesai pada 2013, tapi beberapa akan ada yang sudah beroperasi pada tahun 2011 dan 2012" ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh, Jumat (11/12).

Darwin beralasan, molornya proyek 10.000 MW tahap I karena berbagai sebab, diantaranya sulitnya pendanaan dan pembebasan lahan.

Darwin menghitung, hingga paruh pertama tahun depan, pemerintah kemungkinan baru bisa merampungkan 27% dari keseluruhan proyek 10.000 MW tahap I. Dus, pada akhir 2010, proyek ini baru akan selesai sekitar 48%.

Mempengaruhi pasokan setrum

Pernyataan Darwin Zahedy ini merupakan revisi dari pernyataannya terdahulu. Sebelumnya, Darwin menargetkan pada semester pertama tahun depan proses penyelesaian proyek listrik 10.000 MW tahap I sudah mencapai 40%.

Sementara itu, pakar setrum Feby Tumewa menyatakan, molornya proyek 10.000 MW tahap I akan berdampak besar kepada pasokan tenaga listrik di seluruh Indonesia. Karena sambungan baru terpaksa dibatasi, maka target rasio elektrifikasi pastinya akan meleset. "Dari awal program ini sudah bermasalah. Perencanaannya tidak benar, proses tender tidak dilakukan secara tepat, dan pemerintah tidak memiliki skenario implementasi," tandas Feby.

Feby tidak heran jika muncul masalah pendanaan, karena dia menilai proyek tersebut tidak layak secara teknis dan finansial. Soal permasalahan pembebasan lahan, Feby menilai, itu terjadi karena tidak ada studi kelayakan yang benar.

Untuk itu, ia meminta PLN melakukan proses tender yang benar, dan mengalokasikan dana investasi pembangkit maupun transmisi minimum Rp 20 triliun per tahun.

Andri Doni, Ketua Masyarakat Kelistrikan Indonesia, juga mencermati soal skema investasi yang harus diperbaiki. Menurut Andri, peran swasta harus dilibatkan secara penuh dalam proyek ini.

Dua PLTU beroperasi

Hingga akhir tahun ini, seharusnya ada 3 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang beroperasi. Sayangnya, hingga bulan Desember ini baru 2 PLTU yang masuk dalam program 10.000 MW tahap I yang sudah beroperasi secara normal.

Kedua PLTU tersebut adalah PLTU Labuan dan PLTU Rembang. Sedangkan PLTU Indramayu kemungkinan baru bisa beroperasi Maret 2010.

"Untuk PLTU Labuan, dua unit. Kemudian Rembang satu unit. Sudah selesai, tinggal diresmikan saja," ujar Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, J. Purwono.

Fitri Nur Arifenie

Kandungan Lokal Proyek-Proyek Listrik Masih Kecil

Tingkat kandungan komponen buatan lokal proyek-proyek listrik masih rendah

JAKARTA. Departemen Perindustrian meminta kepada PT PLN mengoptimalkan penggunaan kandungan lokal dalam proyek-proyek pembangkit listrik listrik karena selama ini tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di sektor listrik ini masih rendah.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka, Departemen Perindustrian, Ansari Bukhari mengatakan, kini memang belum ada regulasi pemerintah untuk mengoptimalkan penggunaan kandungan lokal dalam proyek pembangkit setrum.

Menurut data dari Departemen Industri, kandungan lokal pada proyek pembangkit batubara masih sedikit. Pembangkit berkapasitas produksi 8 Megawatt (MW) ke bawah memiliki kandungan lokal 70%, kemudian kandungan lokal pembangkit 8 MW - 25 MW 50%, dan pembangkit 25 MW -100 MW baru 45%.

Sementara berdasarkan studi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), kandungan lokal pembangkit geothermal berkapasitas kurang dari 10 MW hanya 61,7%, pembangkit 20 MW - 110 MW baru 30%, dan pembangkit dengan kapasitas lebih dari 110 MW hanya 29%. Dengan demikian, komponen proyek geothermal masih bergantung pada kontribusi asing.

Ansari juga merinci beberapa kelemahan industri mesin peralatan listrik. Pertama, struktur industri masih lemah. Kedua, masih terbatasnya kemampuan pendanaan pengembangan produk dan investasi. "Kelemahan lain adalah ketergantungan kepada pihak asing untuk mengembangkan produksi dalam negeri," kata Ansari kemarin (14/12) setelah penandatanganan pembiayaan listrik antara PLN dengan sejumlah bank.

Pendapat senada juga mengemuka dari Kepala BPPT Marzan A. Iskandar. Oleh karena itu ia minta PLN agar meningkatkan kandungan lokal pembangkit listrik dalam Megaproyek 10.000 MW Tahap II, khususnya pada pembangkit geothermal. Salah satu caranya, pembangkit geothermal sekala kecil harus dibuat oleh industri lokal dan dengan melibatkan perusahaan lokal, misalnya PT Rekayasa Industri.

Bebasan bea masuk

Untuk mendorong partisipasi lokal ini, Ansari mengusulkan pembebasan bea masuk bahan baku dan komponen mesin pembangkit yang memang belum diproduksi di dalam negeri.

Direktur Konstruksi PLN, Agung Nugroho juga menambahkan bahwa PLN juga sangat serius dalam soal meningkatkan local content tersebut. "Saat ini tim TKDN sedang menyelesaikan audit pembangkit PLN. Tahap pertama untuk pembangkit di Jawa dulu," kata dia.

"Kami lihat dulu seperti apa hasil auditnya, baru nanti kami bilang bahwa TKDN-nya rendah," kata dia.

Tuntas Sudah Perburuan Dana Megaproyek Listrik 10.000 MW Tahap I

AKHIRNYA, setelah bertahun-tahun pendanaan proyek-proyek pembangunan pembangkit listrik yang tercakup dalam Megaproyek Listrik 10.00 Megawatt (MW) tuntas sudah. kemarin, Senin (14/12), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) meneken fasilitas kredit untuk pendanaan sejumlah pembangkit.

Total pinjaman yang terkucur mencapai US$ 457,6 juta dan Rp 635 miliar. "Dengan ditandatanganinya pendanaan ini, kebutuhan untuk 10 lokasi PLTU di Jawa-Bali dan 23 lokasi PLTU di luar Jawa-Bali sudah terpenuhi," ujar Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar.

Ada beberapa pembangkit yang mendapatkan kredit "kloter" terakhir ini. Pertama, PLTU Tanjung Awarawar dengan kapasitas 2 x 315 MW mendapat pinjaman US$ 371 juta dengan tenor pinjaman 13 tahun. Penekenan dilakukan bersama Bank of China. "Termasuk masa tenggang 3 tahun dengan suku bunga berbasis LIBOR," kata Fahmi kemarin.

Kedua, PLTU Kalimantan Barat (2 x 50 MW) dengan nilai pinjaman ?US$ 62 juta dan Rp 392 miliar. PLN mendapatkan pinjaman dari Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Ketiga, PLTU Bengkalis, Riau (2 x 10MW) dengan nilai pinjaman ?US$ 8,4 juta dan Rp 132 miliar. Pinjaman ini juga didapatkan dari BRI.

Keempat, PLTU Selat Panjang, Riau (2 x 7 MW) dengan nilai US$ 9,2 juta dan Rp 111 miliar. PLN memperoleh pinjaman ini dari BRI.

Kelima, PLTU Balai Karimun Riau (2x7 MW) dengan nilai pinjaman mencapai US$ 7 juta bersama BRI dengan tenor selama 10 tahun.

Setelah urusan duit beres, kini PLN bisa konsentrasi memicu pembangunan pembangkit untuk mengatasi krisis listrik. Sedangkan pembangkit yang berlokasi di Maluku dan Papua masih proses tender ulang.

Fahmi juga menambahkan bahwa penandatanganan tersebut menuntaskan pendanaan dalam rangka proyek PLTU 10.000 MW Tahap I dengan nilai US$ 4,931 miliar dan Rp 19,613 triliun. "Tahun 2009 ini proyek PLTU Labuan 2 x 300 MW dan Rembang 1 x 300 MW akan segera masuk sistem kelistrikan. Lainnya akan menyusul pada tahun 2010," imbuh dia.

Selain untuk proyek 10.000 MW, PLN juga berhasil mendapatkan pinjaman untuk transmisi listrik hingga senilai Rp 4,54 triliun.

Fitri Nur Arifenie

Setrum dan Pembiayaan Ganjal Pertumbuhan RSH

Tahun ini, pengembang hanya bisa memenuhi pasokan RSH 85% dari target 158.000 unit.

JAKARTA. Sejumlah kendala menyandung pengembang untuk menyediakan rumah sederhana sehat (RSH) tahun ini. Diantaranya, soal ketersediaan listrik dan pembiayaan perumahan. Ujung-ujungnya, pengembang hanya mampu memenuhi 85% dari target pembangunan RSH tahun ini.

Target pembangunan RSH baru pada tahun ini adalah sebesar 158.000 unit. Namun realisasinya, "Hingga Oktober, jumlah pembangunan RSH mencapai 117.000 unit dan kami memprediksi hingga akhir tahun hanya sebesar 135.000 unit," ujar Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Teguh Satria, Selasa (15/12).

Sulitnya mendapat listrik menjadi kendala utama pembangunan RSH. Maklum, pengembang tidak bisa menjual rumah tanpa ada sambungan listrik. Celakanya lagi, tanpa ada kepastian pasokan setrum, pihak perbankan juga menolak pengajuan kredit oleh para pengembang.

"Kuncinya memang ada di dalam skema pembiayaan. Likuditas perbankan yang ketat mengakibatkan supply tidak banyak," jelas Teguh.

Segendang seperjogetan dengan Teguh, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria juga mengeluhkan hal yang sama. Menurut data yang dilansir Apersi, kebutuhan listrik untuk proyek perumahan menengah ke bawah bersubsidi tahun ini sebesar 100.000 kilowatt (kW).

Apersi sudah meminta PLN secara transparan memetakan wilayah-wilayah yang tidak memiliki sambungan setrum. Dengan begitu, pengembang tidak akan membangun RSH di wilayah yang tidak ada pasokan listriknya. "Tapi sampai sekarang, hal itu belum ada solusinya," kata Fuad.

Menurut Fuad, selain kedua kendala tersebut, ada hal lain yang juga harus dibenahi pemerintah agar pembangunan RSH mencapai target, yakni masalah perizinan dan sertifikasi.

Tambahan subsidi

Kendati tidak mencapai target, toh para pengembang tidak lantas loyo. Teguh menegaskan, tahun depan pihaknya optimis bisa menaikkan pembangunan RSH hingga 160.000 unit. Dengan membaiknya kondisi makro ekonomi dan tren bunga kredit bank yang rendah, Teguh optimis jumlah anggota REI akan naik dari 1.743 sekarang ini menjadi 2.100 perusahaan di 2010.

Sementara Fuad menilai, bisnis properti tahun depan masih akan bergantung pada kebijakan yang diambil pemerintah. Diantaranya, soal subsidi, perizinan, sertifikasi dan pembiayaan.

Baik Apersi maupun REI mengusulkan agar pemerintah menambah subsidi perumahan di 2010.

Terkait soal harga, menurut Teguh, harga RSH tahun depan akan naik. Jika harga awalnya Rp 55 juta per unit, maka di 2010 diperkirakan harganya akan naik menjadi Rp 65 juta per unit.

Selain itu, "Kami sudah mengusulkan ke pemerintah untuk menaikkan harga rusunami bersubsidi dari Rp 144 juta menjadi Rp 180 juta," kata Teguh.

Fitri Nur Arifenie