5.14.2010

Percakapan 5 menit

Suatu sore, usai sholat dan mandi, saya melihat hp. Opppsss...ada 6 mised call, dan semuanya dari nomor kantor. ow...ow...ow....ada apa ini? Hari itu adalah tanggal merah, dan karena saya sedang tidak ingin ke kantor, saya mengerjakan berita dari kos. Kemudian ada pesan masuk: "Fen, tlg angkat telpnya...beritamu soal **** ga jelas semua,"

Segera saja, saya membalas sms redaktur. Tak berapa lama ia menelpon saya. Awalnya saya tak mengerti mengapa dan kenapa berita saya tidak jelas. Toh, saya sudah berusaha menulis sebaik mungkin. Ternyata, ada beberapa kesalahan angka dan nama jabatan. Akurasi saya masih banyak yang meleset. Well, bukankah tugas redaktur yang membetulkan tulisan reporternya.

Redaktur saya yang suka dengan detail ini, mulai menanyakan dari A hingga Z. Kemudian, ia mengkaitkannya antara fakta, tulisan dan logika. Memang, saya akui agak sedikit ribet bekerja sama dengan dia. Tapi tak bisa dipungkiri juga, bahwa saya memang banyak belajar dari redaktur saya yang satu ini. Saya banyak belajar bahwa tidak hanya menerima omongan narasumber mentah-mentah melainkan juga harus memastikan apakah omongan tersebut sesuai dengan alur logika. Dan saya juga mulai belajar soal detail. Saya menikmati bekerja sama dengan dia, meskipun kadang telinga ini agak merah menerima penjelasannya yang bertubi-tubi.

"Tulisan kamu akurasinya gak pas, berantakan semua. Dan ini bukan yang pertama, tapi akhir-akhir ini tulisan kamu berbeda," kata dia.

Sayapun hanya diam.

"Kamu kenapa, apa ada masalah? Atau memang sedang capek?" tanya dia.

Saya akui, saya memang ada masalah. Tapi bukan berarti semua orang tahu permasalahan saya. Saya hanya diam tak menjawab pertanyaan itu. Diam sebagai bentuk pengakuan saya bahwa saya memang bersalah.

"Kalau ada masalah, bilang aja. Dulu pas kamu jadi carep ga kaya gini tulisannya. Kenapa setelah jadi reporter malah berantakan?"

Saya masih diam.

"Bukannya apa, tapi akurasimu banyak yang meleset terutama soal angka. Dan ini berkali-kali, aku pikir kamu akan belajar setelah membaca tulisan yang diedit,".

Lima menit kemudian percakapan itu berakhir. Apa yang dikatakan oleh redaktur saya itu memang benar. Saya memang ada masalah pribadi, tapi sejauh ini saya mencoba untuk bersikap profesional. Saya tak pernah berusaha menjadikan masalah pribadi sebagai alasan untuk saya menjadi malas bekerja. Bahkan, saya masih bisa berusaha tertawa dalam keadaan yang tidak baik. Yah, mungkin secara tidak sadar, itu berpengaruh kepada cara menulis saya.

Selain itu juga, saya capek. Saya capek dengan tekanan kebijakan kantor yang baru. Saya capek dengan tuntutan yang saya terima tiap hari. Saya manusia, saya juga memiliki batas. Saya capek ketika harus berpikir secara sendirian, mencoba mencari isu sendiri. Sementara di luar sana, hanya ada yang mengembangkan berita dari rilis ataupun isu dari atasan, jarang ke lapangan justru tidak mendapatkan tekanan, yang ada malah pujian. Saya tidak minta untuk dipuji, tetapi saya hanya minta perlakuan yang adil.

Selama ini saya diam, ketika saya mendapatkan perintah untuk mencari berita untuk mengamankan halaman meskipun saya sudah menyetor beberapa berita. Dan hal itu tetap saya lakukan. Saya diam, meski terdapat beberapa kali berita yang tidak mencantumkan nama saya padahal itu materi berita saya. Bahkan, saya masih diam, ketika saya mendapatkan tugas-tugas ajaib (tugas yang berada di luar job desk saya).

Percakapan selama 5 menit itu, ternyata bisa membuat saya tahu kenapa saya merasa kinerja saya turun. Alasannya cuma satu, saya capek. Saya capek mendapatkan tuntutan terus menerus. "Saya ini manusia bukan malaikat,". Dan saya capek karena saya mendapat protes terus menerus padahal saya sudah berusaha untuk berbuat sebaik mungkin. Protes yang datangnya bisa dari siapa saja. Ketika bos besar minta neraca gas, saya berusaha mendapatkan itu. Dan memang saya mendapatkannya satu hari setelah perintah itu. Tapi tetap saja berita saya diprotes kenapa berita migas terus. Saya capek, ketika semua tindakan yang saya lakukan selalu salah.

Saya juga capek dengan rasa permusuhan dengan beberapa kolega di kantor. Mereka merasa bahwa saya selalu mengambil semua berita yang ada. Yah, BUMN selalu menjadi pos rebutan. semua kompartemen boleh masuk baik nasional, investasi, keuangan dan bisnis. Saya tidak pernah melarang siapapun untuk masuk dalam BUMN. Saya persilahkan kepada mereka semua yang ingin mencari berita di sana.

"Mereka segan ke BUMN karena lo ambil semua beritanya," kata sumber.

"Tapi kan aku gak pernah kaya gitu. Mana pernah aku melarang anak Kontan gak boleh masuk BUMN. Itu cuma alasan mereka aja yang ga mau nongkrong. Selama ini, kan selalu bagi berita," kata saya.

Bahkan, ketika ada acara Pertamina-PGN, saya hanya mengambil Pertamina. Sedangkan PGN, sudah diambil anak kompartemen investasi. Begitupun juga ketika ada acara PGN, Pertamina dan PLN di komisi VI, sayapun memberitahu anak investasi Kontan bahwa ada PGN di sana. Kalau memang saya egois, untuk apa saya memberitahu ada PGN. Begitupun juga dengan ketika ada acara di komisi VII ada ptba, antam, freeport, bhp, saya juga memberitahu mereka. Bahkan ketika ada acara bank di BUMN, saya juga sempat memberitahu mereka yang ada di desk keuangan tapi mereka tidak pernah datang.

Kemudian ketika ada acara breakfast meeting, biasanya 141 direktur utama BUMN pasti hadir karena ada bapak menteri BUMN. Ketika acara itu, bahkan saya hanya mengambil BUMN yang bukan tbk, BUMN yang bukan Keuangan. Lalu sekarang, saya menjadi kambing hitam lantaran mereka tidak pernah ke sana. Saya capek dengan itu semua, saya capek disalahkan terus.

Bahkan, ketika itu ada kejadian, ada berita yang saya transkrip dan saya masukkan milis ke plat merah. Namun, karena saya tahu itu bukan untuk halaman saya, saya tidak mengambil berita tersebut. Dan herannya, besok berita itu keluar oleh salah satu kawan saya di Kontan padahal nama yang tercantum disitu tidak pernah hadir. Saya diam saja, saya tidak melapor.

Namun, ada juga peristiwa ketika itu wawancara dengan menteri BUMN, saya terlambat datang. kemudian kawan saya yang itu datang terlebih dahulu. Dia pulang setelah mengira tidak ada proyeksi berita di sana yang berkaitan dengan halamannya. Kemudian saya hadir dan saya melisting berita soal halaman saya. Di kantor di hadapan beberapa kawan saya dan redaktur dia mengatakan.

"Lo ke mana koq bisa dapat berita itu. Kan tadi gw yang ada disitu?"

"Gw juga ada koq tapi gw telat," kata saya

"Itu pertanyaan gw, kenapa lo yg listing. Gw yang nanya. jadi siapa nih yang kloning. Yang jelas bukan gw karena gw ada di sana,"

"Gw ga kloning, gw ada di situ. Dan lagian gw memang listing berita soal itu tapi litnya bukan itu. Gw baru listing sore, dan yg lo listing itu sama kaya mba *****, dia dapatnya di deperin karena paginya menteri BUMN ke deperin buat ngomongin soal itu,"

Well, dari kejadian itu saya sedikit sakit hati. Saya kira kalau dia marah bisa menyelesaikan secara baik-baik tanpa harus melapor ke redaktur. Saya juga marah dengan dia yang saya pikir mau menjilat redaktur supaya dia tidak salah. Tapi, saya selalu berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan dia. Saya selalu berusaha bahwa dia adalah teman saya satu kantor. Kita adalah satu tim, karena buat saya, untuk apa berkompetisi dengan teman sekantor, melainkan berkompetisi dengan koran yang berbeda. Kita tidak akan pernah menang jika dalam tubuh kantor kita sendiri tidak sehat. Dan sekarang muncul tuduhan-tuduhan seperti itu. saya capek dan lelah, karena ketika saya berusaha untuk berbuat baik, mereka justru menjadikan saya ancaman.

Kalau mau diungkit-ungkit, banyak hal-hal yang saya lakukan untuk mereka. Saya selalu mengalah tetapi ketika mereka mengalah sekali saya untuk saya, mereka menganggap bahwa saya adalah raja untuk mengambil semuanya.

Belum lagi, ketika saya ke kantor saya mendapatkan bahwa kursi meja saya sudah ada yang menempati. Padahal masih banyak ruang kosong yang bisa ditempati. Apalagi anak yang menempati itu adalah sudah memiliki kursi meja sendiri. Saya memang jarang ke kantor tapi bukan berarti orang berhak untuk menempati meja kursi itu. Saya masih pegawai Kontan dan saya berhak disitu. Saya sedikit kesal karena dalam komputer itu, banyak file-file pribadi saya. Belum lagi saya mensettingnya ketika komputer nyala langsung menyambung dengan gmail dan ym saya. Itu berarti, orang yang menduduki meja kursi saya bisa membuka file-file saya. Saya tidak suka itu, ketika seseorang membuka privasi saya. orang tua, adik bahkan sahabat saya akan saya marahi apabila mereka berani melanggar privasi saya.

Percakapan 5 menit itu menyadarkan saya bahwa saya capek dengan kondisi ini. Mungkin saya harus mulai menata diri terlebih dahulu, memprioritaskan apa yang menjadi tujuan hidup saya. Mengevaluasi kembali, apakah hal ini yang memang yang paling cocok untuk saya. Mungkin, sudah saatnya saya menciptakan kesempatan-kesempatan yang membuat saya lebih berkembang lagi.