12.29.2010

Reuni dengan mantan pejabat

Empat jam sebelum pertandingan final piala AFF antara Indonesia dan Malaysia, pria berusia 57 tahun memasuki lobi gedung kementrian BUMN. Para kuli tinta yang asyik menulis dan berkutat dengan deadline di presrum tidak menyadari kedatangan pria yang akrab disebut dengan panggilan babe. Namun, salah seorang berteriak, "eh, itu ada pak Sofyan Djalil". Kemudian dengan sekejap para kuli tinta itu melupakan berita, melupakan ada deadline yang harus dikejar sebelum pertandingan sepak bola dimulai. Semua meletakkan notebook, berlari ke luar persrum dan menuju lobi gedung.

Ternyata, Beliau masih mengingat kami. Dengan senyuman dan keramahannya, beliau menyalami kami. Meski sudah tidak lagi menjadi menteri, Sofyan Djalil masih tidak berubah. Seperti dulu, selalu tersenyum, bersedia berjabat tangan, dan menanyakan kabar.

"Wah, kalian masih di BUMN ya," kata pria kelahiran Aceh ini.


Saya memang berdecak kagum dengan sosok Sofyan Djalil. Kesederhanaan, Ketegasan dan Keramahannya merupakan ciri khasnya. Ketika mengikuti beliau selama menjadi Menteri BUMN, saya sangat mengidolakannya dibandingkan dengan pejabat-pejabat yang lain. Terakhir kali saya bertemu dengan dia, ketika pelantikan menteri BUMN yang baru. Dalam suasana haru, kami penghuni presrum plat merah melepas kepergian beliau. Bahkan, ada salah satu teman penghuni presrum plat merah demi menghadiri pelantikan beliau, dia datang. Padahal ketika hari itu, teman kami sedang bertugas di tempat lain. Dia mampir sebentar ke gedung Kementrian BUMN, sebelum pergi ke tempat liputannya.

Beliau sederhana dalam menjawab dan bertutur kata. Beliau juga tegas dalam menyampaikan informasi, mana yang boleh dipublikasikan dan mana yang tidak boleh dipublikasikan. Ketika informasi itu masih rahasia, beliau pasti akan mengatakan tidak mau menjawab. Namun, ketika beliau tidak tahu, beliau pasti bilang tidak tahu. Beliau tidak pernah kucing-kucingan dengan kami yang berprofesi sebagai kuli tinta.

Satu ciri yang selalu melekat adalah keramahan. Pria yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Periode 2004-2007) dengan sabar dan ramah meladeni pertanyaan demi pertanyaan. Tak pernah ada intonasi keras yang keluar darinya.

Saya sempat berinteraksi dengan beliau. Meski cuma sebentar, hanya beberapa bulan. Namun, pak Sofyan sudah memberikan kesan yang mendalam untuk saya. Dia akan selalu menjadi salah satu pejabat favorit saya. Apalagi, dia juga termasuk orang yang bersih. Meski dia maju ke kursi menteri karena dekat dengan JK. Namun, yang saya dengar, dia tidak suka berpolitik. Selama masa kepemimpinannya di BUMN, beliau telah mencapai banyak hal yang menguntungkan plat merah. Tak sekalipun, saya mendengar sentimen negatif tentang beliau. Bahkan, dia berani memecat sekretarisnya ketika sekretaris tersebut ketahuan mendapat hadiah mobil dari salah satu perusahaan plat merah.

Ketika membaca biografinya, saya semakin kagum dengan beliau. Dari kecil, beliau sudah bekerja keras. Beliau tidak pasrah terhadap nasibnya. Ayahnya hanyalah seorang tukang cukur dan ibunya guru ngaji. Sedari kecil, beliau sudah mencari uang dengan menjual telur itik. Sebelum sukses seperti sekarang, Beliau pernah menjadi penjaga masjid dan kondektur metromini. Ia bisa kuliah di Universitas Indonesia karena memperoleh beasiswa. Kemudian melanjutkan studi ke Amerika.

Jalan hidup pak Sofyan seperti metamorfosis kupu-kupu. Ulat berubah menjadi kepompong kemudian kupu-kupu. Pelajaran yang saya ambil dari biografi beliau adalah berani bermimpi dan jangan pernah menyerah dengan kondisi. Menyerah hanya kata untuk mereka yang tidak berani menghadapi kenyataan.

Ketika, Presiden SBY memutuskan untuk mengganti beliau, saya dengan teman-teman penghuni presrum merasa sedih. Beliau bukan hanya sebagai menteri untuk kami. Beliau adalah seseorang yang kebapakan. Ketika kami mengikuti beliau rapat dengan DPR hingga pagi buta, beliau masih sempat bertanya, "Kalian sudah makan? Pasti capek ya mengikuti saya seharian,". Meski Pak Sofyan juga kelelahan, tetapi beliau meluangkan waktunya untuk berkenan kami wawancara. Padahal, kami sudah optimis, beliau akan naik lagi menjadi menteri BUMN. Bukan karena rasa simpati kami. Tetapi, karena beliau adalah orang cerdas yang dapat memperbaiki kondisi perusahaan plat merah yang sedang sakit.

Namun, sebelum pergantiannya, terdapat kabar tidak sedap bahwa Sofyan Djalil adalah salah satu menteri yang menjauh dari JK. Ketika tudingan itu digelontorkan, beliau kecewa namun tetap menjawab tudingan itu dengan sabar. Dalam beberapa kunjungan Wapres JK, Sofyan Djalil memang tidak hadir karena memang sedang mengurus sekolah anak ke Amerika. Saya percaya, Sofyan Djalil bukanlah orang bertipe kacang yang lupa kulitnya. Bukan pula orang yang gila jabatan.

Kemudian ketika terjadi gempa dengan kekuatan 7,3 SR berpusat di laut sekitar 140 km dari Tasikmalaya, mengguncang pulau Jawa, termasuk Gedung BUMN. Semua, pegawai BUMN berhamburan ke luar gedung. Tetapi Sofyan Djalil dan pengawalnya tidak terlihat ikut berhamburan, dia bertahan di ruang kerjanya. Lalu, berselang beberapa menit, dia dan pengawalnya melambaikan tangan dari jendela kantornya dan tak lupa senyumnya.

Medan Merdeka Selatan
Presroom Gedung Kementrian plat merah
18.22 WIB

12.28.2010

Luv my 2010

Tahun 2010 sebentar lagi usai. Tinggal dua hari lagi sebelum memasuki tahun 2011. Namun, belum juga menyusun rencana-rencana di tahun depan. Seperti biasa, saya memiliki target tetapi belum memiliki rencana strategi menghadapi 2011. Go with the flow...

Sepanjang tahun ini merupakan tahun pembelajaran untuk saya. Tahun 2010 merupakan tahun buat saya untuk berjuang dalam menghadapi segala sesuatu meski itu sulit. Sehingga akhirnya saya bisa keluar dari kesulitan itu sendiri. Meski bukan tahun yang sempurna, tapi tahun 2010 ini membuat saya untuk selalu bersyukur dan bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan untuk saya.

Mengenang kembali di tahun 2010 ini, Tuhan tidak memberikan apa yang selalu saya minta. Namun, Tuhan memberikan semua apa yang menjadi kebutuhan saya. Tuhan tidak secara langsung memberikan apa yang selalu saya minta. Namun, Tuhan memberikan jalan supaya saya dapat meraih permintaan saya tersebut.

Ketika saya meminta untuk diberikan kesabaran, Tuhan tidak langsung memberikan saya kesabaran. Tuhan memberikan saya berbagai cobaan, musibah, konflik yang membuat saya lebih bersabar lagi.

Ketika saya meminta kebahagiaan, Tuhan memberikan saya sahabat-sahabat baru yang memberikan banyak warna dan tawa dalam kehidupan saya. Tuhan juga mempertemukan saya dengan sahabat lama yang sudah tujuh tahun lamanya tidak berjumpa. Ketika menemukan dia, seperti keajaiban. Sebab, saya menyangka, sejak kehilangan dia, tak akan pernah menemukannya kembali.

Ketika saya meminta keutuhan keluarga, Tuhan memberikan saya sebuah cobaan yang mampu membuat keluarga saya untuk lebih dekat lagi, lebih saling percaya, lebih saling menguatkan. Terima kasih karena Tuhan telah menjaga keluarga saya.

Ketika saya meminta keberanian untuk bangkit dari Trauma, Tuhan selalu membuat saya jatuh berkali-kali. Seolah-olah Tuhan mempermainkan saya dengan jarinya. Seperti belajar bersepeda, saya berusaha untuk berdiri ketika jatuh dari sepeda walaupun terdapat luka di sekujur tubuh saya. Hingga akhirnya, saya memiliki keberanian untuk bersepeda hingga akhirnya dari awalnya belajar menjadi mahir.

Ketika saya meminta kesehatan, Tuhan bahkan memberi saya sakit. Awal Ramadhan lalu, saya sempat menjalani perawatan di RS selama beberapa hari. Namun, saya kemudian mengerti, Tuhan memberikan saya sakit supaya saya belajar untuk menjaga tubuh. Maklum, saya seringkali menghiraukan alarm tubuh. Ketika tubuh meminta untuk istirahat, saya justru masih bekerja. Dengan pelajaran yang saya peroleh, ke depannya saya lebih berhati-hati dengan kesehatan tubuh.

Cara Tuhan memang unik untuk saya. Dia selalu saja berbuat baik untuk saya meski saya belum berbuat seperti umat yang baik.

12.02.2010

Demi rating dan oplah, profesionalisme dipinggirkan

Ketika Wartawan Berlagak Pialang, salah satu judul berita di Majalah Tempo yang terbit tanggal 29 Nopember 2010. Kisruh Initial Public Offering (IPO) perusahaan baja plat merah, PT Krakatau Steel (KS) berujung kepada pemberitaan soal pemerasan wartawan kepada manajemen KS. Bahkan beberapa hari ini terakhir, nama empat orang wartawan yang saat ini sedang tenar namanya k
arena ikut-ikutan membeli saham KS ramai diberitakan. Salah satu media, Tempo yang sering mengungkap kasus ini, menurut saya terkesan terlalu berlebihan. Mulai dari segi pemberitaan hingga kepada penulisan. Sayang sekali, ketika media yang pernah meraih penghargaan terbaik dalam segi penulisan, ketika menulis soal pemerasan tersebut seperti koran lampu merah.

Proses IPO KS memang cukup alot, nuansa politis tidak mampu terhindarkan lagi. Awal mulanya ketika harga KS ditetapkan dengan harga yang terbilang murah sekitar Rp 850 per lembar saham. Padahal, banyak kalangan menilai, harga saham KS sepantasnya berada di level di atas Rp 1.000 per lembar sahamnya. Banyak wartawan berusaha menulis soal harga KS yang kemurahan itu. Ulasan-ulasan negatif soal IPO KS tidak berhenti ketika sebelum IPO hingga sesudah IPO berlangsung.

Maklum, ketika privatisasi BUMN selalu saja melibatkan unsur politis karena ada anggota dewan pemeras ribuan (a.k.a dpr) orang yang terlibat di dalamnya. Saya tak menuduh, tapi gosip yang beredar para anggota dewan pemeras ribuan orang ini ikut-ikutan meminta jatah. Karena harga yang murah itu, tentu saja makin menarik minat masyarakat untuk memperoleh gain yang tinggi khususnya investor. Banyak orang berburu saham perusahaan baja plat merah ini. Mulai dari institusi hingga masyarakat ritel. Bahkan, salah seorang gubernur juga ikut-ikutan meminta jatah saham kepada Menteri BUMN. Tak tanggung-tanggung, gubernur tersebut meminta jatah saham yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.

Isu panas mulai bergulir, ketika salah satu anggota partai membeberkan fakta-fakta soal harga KS tersebut. Sejak itupula, pemberitaan KS tak ada satupun yang positif. Semuanya n egatif. Pembeberan fakta itu, kabarnya juga karena tidak semua partai politik kebagian jatah yang sama untuk IPO KS. Hanya dua partai politik yang mendapat jatah paling besar di IPO KS tersebut. Entah, bagaimana kebenaran isu ini. Namun, ini adalah kabar angin yang berhembus di sana sini, dari mulut ke mulut. Kebenaran yang tadinya off the record ini, tak mampu masuk ke pojok berita hanya menjadi buah bibir pembicaraan di kalangan wartawan secara terbatas.

Puncaknya, ketika Tempo menulis soal pemerasan empat orang wartawan yang berasal dari media ternama terhadap manajemen KS. Empat orang wartawan ini mewakili 30 wartawan lainnya, meminta jatah saham kepada KS dan meminta uang sebesar Rp 400 juta supaya pemberitaan soal KS ini berhenti. Seperti bom meledak, pemberitaan itu membuat saya kaget setengah mati. Jatuh sudah kredibilitas saya sebagai wartawan. Meski, saya tak terlibat tapi orang akan menilai profesi wartawan sebagai tukang peras.

Saya tak membela keempat wartawan itu. Memang, harus diakui empat wartawan itu salah. Karena bermain saham hanya akan membawa conflict of interest. Investor di Indonesia masih sensitif terhadap berita, sehingga bisa saja wartawan membuat berita untuk keuntungannya pribadi yakni demi naik turunnya saham. Kasus empat wartawan itu memang perlu ditelusuri lebih jauh, tanpa harus membuatnya semakin besar. Tapi Tempo lupa menelusuri jejak siapa dan apa sebenarnya di balik IPO KS.

Isu tentang empat wartawan itu hanyalah tumbal untuk menutupi isu sebenarnya yakni kenapa harga KS bisa semurah itu? siapa yang menikmati harga KS itu dan siapa yang menetapkan harga KS? Isu inilah yang belum terkuak, siapa dalang di balik ini dan berapa besar kerugian negara dengan murahnya harga IPO KS ini? Saya jadi ingin tahu apakah Tempo bisa mengungkap soal penjatahan saham ini tidak hanya soal pemerasan wartawan? bisakah Tempo mengetahui ke mana sebenarnya jalan cerita akan dibawa?

Kegegeran ini tak hanya terjadi di Dewan Pers, di lapangan tempat saya meliput, topik ini juga menjadi perbincangan hangat di kami kalangan wartawan. Karena saya dan teman-teman bertugas di plat merah. Saya sungguh menyesalkan sikap Tempo yang seperti ini. Membuat isu cethek ini berkembang menjadi besar, sedangkan isu besarnya justru tertutupi. Media sekaliber Tempo ternyata tak mampu menguak tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Saya menduga, keagresifan Tempo ini tidak lain untuk menjatuhkan nama Kompas. Karena empat wartawan yang terlibat itu, salah satunya berasal dari Kompas. Tak cuma di media cetak, di media elektronikpun seperti TV yakni TVone juga berusaha menjatuhkan metrotv dengan pemberitaan ini. Lantas, apakah kedua media itu pernah berpikir perang media demi mendapatkan sebuah rating tertinggi, profesionalitas wartawan akan jatuh? Masyarakat akan berpikir, wartawan TVone juga tak ubahnya seperti empat wartawan itu yakni tukang peras. Masyarakat juga akan memberikan stigma, wartawan Tempo juga tak ubahnya seperti empat wartawan itu yakni tukang palak?

Cerita di balik layar, yang mengadukan empat wartawan ini adalah salah satu PR yang memang menangani plat merah. sang PR ini ternyata berusaha mencari kambing hitam atas pemberitaan negatif yang beredar. Karena, sang PR telah ditelpon oleh petinggi plat merah karena pemberitaan yang makin lama makin memojokkan KS. Padahal, plat merah telah merogoh kocek yang cukup banyak untuk menyewa PR ini supaya dapat mengontrol berita yang berkembang.

PR ini kemudian panik dan mengambil jalan pintas menyalahkan wartawan. Lagi-lagi kabar burung, empat nama yang dicatut ini karena empat nama ini berada dalam daftar bbm messenger PR. Bahkan 30 daftar nama itu adalah daftar nama pemain futsal wartawan pasar modal. Dan sebenarnya, di pasar modal, wartawan yang meliput tidak sebanyak itu. PR ini juga tidak selamanya bersih, karena berdasarkan penuturan teman-teman, PR yang menjadi pionir dalam gerakan memberi wartawan sogokan uang ini juga pernah menawari wartawan pasar modal jatah saham KS.

Belajar dari kejadian ini, tak ada yang menang. Semuanya kalah. Tempo tak hanya merusak nama wartawan Kompas tapi keseluruhan wartawan. Khususnya wartawan dalam bidang ekonomi. Nama wartawan Indonesia tak hanya jatuh di kalangan masyarakat domestik tetapi juga internasional. Saya pernah berbincang dengan Kepala atase kebudayaan kedutaan Jerman di Indonesia soal wartawan KS ini. Si bule Jerman ini ternyata tahu banyak soal insiden ini. Bahkan, teman-temannya yang berada di Jerman juga menanyakan kebenaran berita ini. Kalau sudah begini siapa yang akan rugi? Hanya rasa malu yang akan didapatkan.

Untuk Dewan Pers, jika ingin memangkas wartawan jalean ini tak cukup hanya dengan memecat. Keseluruhan sistem ini harus dipangkas habis. Mulai dari tingkah laku narasumber yang tidak mencoba memberi uang ataupun PR yang berusaha untuk menawari mengirim lewat nomor rekening. Tidak hanya itu, harus ada peraturan yang mengatur gaji wartawan dengan cukup besar. Karena, terdapat beberapa pengusaha media yang pelit terhadap gaji wartawan. Tak heran, jika wartawanpun mencari sesuatu di luar.
Hasil akhirnya terhadap kisruh KS ini, wartawan yang akan menjadi korban. Sedangkan pejabat dan partai politik yang terlibat melenggang dengan tenang begitu saja. Misteri di balik harga KS yang murah ini juga tak akan terungkap.