11.26.2010

Kwetiau Goreng dan Es Leci

Dua menu favoritku ketika mengunjungi warung pojok (wapo) yang lokasinya persis di depan kampus B Universitas Airlangga. Memang terkesan tidak kreatif tetapi dua menu itulah yang selalu kupesan ketika aku berkunjung ke wapo. Padahal masih banyak menu-menu lainnya seperti nasi goreng, bebek goreng, gurami terbang goreng, steak, salad, es Alpukat, es melon, es blewah, juice alpukat, cappucino dan lain-lain.

Terakhir aku berkunjung ke sana setelah menghadiri pesta pernikahan salah seorang teman beberapa hari lalu. Maklum, karena datang terlambat, akupun tidak kebagian makanan, karena makanan sudah disapu bersih oleh tamu yang hadir terlebih dahulu. Sedangkan naga-naga di perut ini sudah berteriak, menggeliat ke sana ke sini untuk meminta jatah malam. Alhasil, akupun pergi ke wapo bersama adikku. Kami memutuskan ke sana, karena lokasinya tak jauh dari lokasi resepsi pernikahan temanku.

Wapo berubah!! Tampilan luarnya berubah, lebih memukau ketimbang terakhir kali aku ke sana ketika kuliah, beberapa tahun lalu. Bahkan, pengunjungnyapun lebih ramai daripada dulu. Dulu memang ramai, tapi malam minggu itu, aku harus masuk dalam daftar tunggu karena semua meja fully booked. Satu hal yang tidak berubah adalah tukang parkirnya judes sekali, ibu-ibu yang usianya sekitar 40 tahun. Ibu-ibu itu masih setia menjadi tukang parkir di wapo padahal sudah lewat beberapa tahun lalu. Eits, tapi jangan salah, si ibu-ibu itu yang menerima uang. Ia memiliki beberapa anak muda sebagai anak buahnya untuk mengatur parkir di wapo.

Menu yang disajikan oleh wapo juga semakin berkembang. Ada menu-menu baru yang siap untuk dicoba. Namun, menu-menu lama juga masih setia ada dalam daftar untuk dinikmati.

"Mbak kita pesan satu saja ya untuk makanannya?" kata adikku.

"Kamu mau apa?"

"Aku pesen nasi goreng aja mbak,"

Ah, pesanan yang berbeda. Karena sudah di wapo, aku ingin sekali makan menu kwetiau goreng favoritku. Dan kamipun pesan satu-satu. Aku memesan kwetiau goreng dan es leci, sedangkan adikku memesan nasi goreng wapo dan es serut melon.

Oh my God, ada satu lagi yang tidak berubah dari wapo adalah porsi makanannya yang masih tetap banyak sejak dahulu. Sepiring nasi goreng dan kwetiau goreng bisa dinikmati oleh tiga orang. Haduh, bagaimana caranya menghabiskan satu porsi makanan ini. Perutku memang lapar, tapi aku juga tak sanggup menghabiskan makanan untuk porsi tiga orang.

"Mestinya tadi kita pesan satu aja mbak,"

"Iya, mbak lupa kalau porsinya jumbo. Kita minta piring aja satu lagi, kemudian pisahkan yang mau dibungkus supaya bukan makanan sisa yang dibungkus,"

Nyam, rasa kwetiau goreng itu sama seperti rasa kwetiau goreng lainnya. Entah, aku lupa rasanya, ataukah memang kwetiau goreng wapo sudah tidak selezat seperti dahulu. Yeah, seandainya aku tidak merindukan kwetiau goreng wapo itu, mungkin aku memesan menu lainnya. Satu sisi, aku kecewa karena rasanya tak seenak yang kubayangkan. Sisi lainnya, aku merasa lega karena bisa menutup rasa rinduku terhadap kwetiau goreng itu.

Wapo bukan hanya tempat makan biasa. Bagi anak muda Surabaya, wapo adalah salah tempat nongkrong. Meski namanya warung pojok, wapo jauh sekali dari kesan warung pojok. Bahkan, nak muda yang tidak tahu wapo bukan termasuk anak gaul surabaya. Wapo tidak hanya tempat untuk nongkrong bersama dengan teman, bukan hanya tempat untuk anak muda mudi yang sedang dimabuk cinta, tetapi juga tempat makan untuk keluarga.

Untukku, wapo ini banyak sekali kenangan di dalamnya. Aku pernah berpacaran di wapo. Usai nonton di Delta Plaza, aku dan pacarku makan di wapo itu. Ah, indahnya masa-masa SMU. Di wapo, aku juga pernah bersama dengan keluarga. Kemudian bersama dengan teman-teman. Di wapo ini juga, aku pernah bermimpi untuk kuliah di Universitas Airlangga. Namun, aku tak pernah menyesal kuliah di Universitas Jember dan tidak mendapatkan mimpiku.

Berada di wapo, sekilas membuatku kembali mengingat masa lalu. Masa yang indah tetapi juga pahit. Di Wapo, aku pernah mendapatkan pernyataan cinta dari seorang pria, dan di wapo juga, aku pernah mendapatkan pernyataan "putus" dari seorang pria.

Sudah cukup untukku melihat masa lalu dan merasakan kwetiau goreng itu, aku mengajak adikku untuk menyudahi malam itu dan pulang. Tak lupa meminta sebagian nasi goreng dan kwetiau goreng yang sengaja dipisahkan untuk dibungkus dan membungkus satu porsi salad buah wapo yang menjadi favorit adik bungsuku.

Kwetiau Goreng dan Es Leci, dulu memang kamu enak dan menjadi favoritku. Kini, mungkin ketika aku mengunjungi wapo kembali aku akan memesan dan mencoba menu yang lain.

Fatmawati
26 Nopember 2010
**seperti kwetiau goreng dan es leci itu, kamu adalah masa lalu. Pergilah dariku dan jangan mengangguku lagi. Aku sudah membuangmu jauh. Dan kini aku siap untuk mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih baik dan lebih enak**

11.10.2010

Itu Kursiku!!

Rabu (10/11) saya sungguh kesal sekali. Hari itu cuaca panas, Obama datang membuat jalanan macet, demo di bundaran HI semakin memperparah macetnya jalanan, kurang tidur (karena sedang menunggu kabar dari adik saya yang terjebak banjir bandang di Semarang) dan saya terserang flu. Tadinya memutuskan tidak akan masuk, namun dua pasukan desk bisnis juga tumbang membuat saya berpikir ulang. Toh, saya masih kuat untuk berdiri dan berjalan.

Setelah liputan di acara media gathering salah satu perusahaan plat merah, saya meluncur ke kantor. Kondisi badan yang tidak mendukung membuat saya pergi ke kantor karena sedang tidak ingin kemana-mana. Sampai di kantor, saya mendapatkan perhatian dari beberapa atasan, kolega kantor soal kondisi adik saya. Maklum, malam sebelumnya saya panik karena adik saya terjebak banjir bandang dan tidak bisa ditelp. Bercerita dengan mereka, cukup membuat saya terharu sekecil apapun perhatiannya. Karena, saya sangat mencintai dan menyayangi keluarga saya.

Namun, rasa senang itu hanya sebentar karena saya melihat seseorang telah menduduki kursi dan meja saya. Orang itu sebut saja dengan X. Mr. X ini sudah coba saya peringatkan bahwa itu kursi meja saya. Bahkan, salah seorang atasan saya juga pernah menegur dia. Kemudian, teman sebelah saya juga sudah memperingatkan. Tetapi seperti "Kanebo Kering" yang harus dibasahi terlebih dahulu baru basah. Saya tidak tahu apakah dia berpura-pura tidak tahu atau memang bandel. Yang jelas, hari itu saya sangat kesal sekali. Meski kesal, saya mencoba untuk berpikir positif.

Rasa kesal itu ditambah dengan ketika saya harus pindah. Oh, my God, saya terusir di meja kursi saya sendiri. What a damn shit!!! Memang, saya tidak mencoba untuk menegurnya tetapi, saya berpikir dia seharusnya tahu diri. Karena dia sudah diberitahu berkali-kali. Lain halnya jika dia sama sekali tidak diberitahu. Saya diam, karena saya tidak ingin membuat dia malu dengan mengusirnya. Jangankan mengalah, meminta ijin untuk menempati meja saya tidak pernah sekalipun terucap di mulutnya. Dimana letak sopan santunmu?

Teman sebelah meja saya, mengatakan," Dia sudah pernah tak kasih tau jangan duduk situ kalo Feni datang gimana," kata dia.

Jawaban dari Mr. X itu sontak membuat saya emosi. "Trus dia bilang, mbak Feni kan gak pernah ke kantor," tambah teman yang duduk di sebelah meja saya.

Ingin saya bilang kepada dia: "Hei lo itu anak baru. Anak baru mestinya turun lapangan dan nyari berita dan ga ngendon sendirian di belakang meja kaya orang kantoran. Kalo lo takut panas, jangan jadi wartawan!!"

Jelas saja saya tidak pernah di kantor, karena saya benar2 mencari berita. Menggali isu, bertemu dengan narasumber. Telepon boleh saja dilakukan, tetapi dalam kondisi tertentu. Bukan juga saya iri, karena saya dulu sebagai calon reporter banting setir ke sana ke sini. Liputan hingga Deptan, Ragunan dan kembali ke kantor saya tak pernah keberatan. Karena itu memang tugas saya dan saya bersyukur, redaktur-redaktur saya dahulu memberi tugas itu kepada saya. Sementara dia, dia enak2an di kantor dan selalu sms minta nomor ini dan minta nomor itu. Saya ingat, pertama kali dia mensms saya: "Mbak, aku minta semua nomor sumber migas, perusahaan migas dan tambang jadi kalau ada yang mau di fu lebih gampang. Kata mas M, aku suruh melengkapi beritamu," kata dia.

Setidaknya, dia bisa meminta dengan sopan. Semua nomor narasumber. Oh, Holly shit. Satu yang terlintas dalam benak saya: Enak saja! saya mencari nomor-nomor itu setengah mati berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sehari. Berpanas ria, belum ketambahan diusir satpam karena takut diminta sumbangan, dan lain sebagainya. Dan kamu, sebagai anak baru cuma sebagai pelengkap berita dan menelpon. Kalau di awal sudah minta enak, gimana ke belakangnya. Saya tak pernah pelit untuk memberi nomor kontak, tapi sms dia membuat saya kesal. Emang dia siapa, sms seperti itu kepada saya? atasan saya juga bukan.

Kembali ke masalah kursi, kenapa saya ingin duduk di situ bukan karena saya arogan untuk membuktikan saya lebih senior. Bukan itu, karena kursi meja itu adalah rumah saya. Lantas, kenapa ketika saya jarang ke kantor, langsung dia tidak menganggap saya ada. Apakah saya siluman, alien atau jin yang tidak ada bekasnya. Saya memang jarang ke kantor tapi karena saya bekerja di sana, suatu saat nanti pasti saya kembali ke kantor itu. Saya tidak keberatan, jika dia mau duduk di kursi saya, tetapi jika itu tidak ada saya. Selama saya ada, carilah tempat duduk yang lain. Dan saya heran, hanya dia yang sulit untuk diberitahu. Lagipula mencari rumah sendiri kan lebih enak.

Memang, saya bisa duduk di mana saja. Karena pada Rabu itu karena investor summit, banyak yang tidak ke kantor. Tetapi aneh rasanya ketika menduduki kursi meja orang lain. Karena, memang itu bukan tempat saya. Apa yang saya alami seolah-olah, saya memiliki rumah namun saya tidak bisa menempati rumah itu sehingga saya harus pergi karena ada orang lain yang bukan pemilik rumah memaksa masuk dan tinggal di rumah itu. Sedangkan, si pemilik rumah harus mencari-cari rumah yang lain.

Lalu, apa yang harus saya lakukan. Apakah saya mengusirnya secara terang-terangan ataukah saya harus menuliskan: Don't sit here except Feni. Ataukah, saya harus diam saja dan membiarkan dia merajalela. Sudah cukup saya mengalah. Lagi-lagi kata itu yang muncul "mengalah".

Fatmawati
10/11/2010
23.45

11.08.2010

Plat nomorku kemana kamu?

Kali pertama selalu ada dalam kehidupan semua orang, misalnya saja pertama kali menikah, pertama kali melahirkan, pertama kali jatuh cinta atau pertama kali kehilangan. Pertama kali selalu meninggalkan kesan terdalam dalam setiap kenangan.

Sepanjang sejarah aku bergelut dengan sepeda motor, ada pertama kalinya aku mengalami kecelakaan. Tetapi ada juga pertama kalinya aku mengalami hal yang menggelikan yakni kehilangan plat nomor motor kesayanganku. Motor yang kubeli dengan kerja kerasku.

Tragedi itu terjadi di sabtu siang di pelataran parkir kampus terkenal di Indonesia Raya ini. Seperti biasa, setiap hari sabtu, aku pergi les dengan salah seorang kawan di kampus itu. Seperti biasa, aku juga parkir di tempat biasa, di bawah pohon.

Sebelum keluar dari tempat parkir tersebut, aku melakukan pengecekan ulang terhadap plat nomor belakang. Karena, aku baru saja mengganti bautnya dengan yang baru. Kuperiksa, plat nomor itu masih bertengger di bagian belakang motorku dalam kondisi masih kencang.

Puas dengan hasil kerjaku sendiri mengganti mur baut, akupun masuk ke dalam kelas. Mengikuti pelajaran seperti biasa tanpa ada bayangan sekalipun kehilangan plat nomor. Selesai mengikuti kelas, alangkah terkejutnya, ketika aku melihat plat nomor motorku yang belakang raib entah ke mana.

Ada dua pertanyaan yang saat itu menggantung di pikiranku. Pertama kemana perginya plat nomorku? Kedua siapa yang mengambil dan untuk apa? Ughhh....sungguh-sungguh menyebalkan hari itu. Hari itu yang kurencanakan setelah pulang les, langsung pulang dan beristirahat jadi urung karena aku harus mencari tukang pelat untuk membuat nomor pelat imitasi supaya tidak ditangkap polisi. Entah kenapa saat itu aku merasa beruntung, bahwa orang Indonesia sangat kreatif untuk membuat barang tiruan. Hanya membutuhkan waktu 30 menit, aku sudah mendapatkan plat nomor tiruan.

11.04.2010

Itu adalah rumahku

Aku tak pernah membayangkan akan ada badai besar yang akan menghantam rumahku. Kali ini, badai itu tidak hanya merusak bangunan rumah, tetapi badai itu juga telah membuat penghuni rumah pergi satu persatu. Tapi, aku tak pernah menyalahkan badai itu. Karena memang, rumahku itu dari awal sudah rapuh.

Seandainya saja, rumahku itu kokoh, sedahsyat apapun badai itu, rumahku pasti bisa bertahan. Tapi, itu semua adalah pilihan setiap penghuni rumah, apakah memutuskan untuk bertahan dalam badai atau keluar dalam badai demi sebuah kenyamanan. Setiap pilihan dan keputusan itulah yang harus aku hormati.

Aku memang mempertanyakan, kenapa mereka pergi? tetapi aku tidak menyalahkan mereka pergi. Aku juga tidak membenarkan mereka pergi. Karena memang tidak ada benar dan salah. Alasan mereka pergi, adalah hal yang harus segera diperbaiki untuk membuat rumahku kokoh lagi.

Meski banyak orang yang meninggalkan rumahku, aku yakin rumah itu akan berdiri tegak lagi. Karena, rumah yang dibangun bertahun-tahun dengan keringat dan kerja keras, tak mungkin dibiarkan ambruk begitu saja. Aku yakin, masih ada cara untuk memperbaiki rumah itu.

Aku masih bertahan di rumahku yang hampir ambruk itu, karena rumah itu yang bersedia untuk menampungku ketika aku terlantar. Aku masih bertahan di rumahku yang hampir ambruk itu, karena aku percaya masih bisa diperbaiki. Walaupun, ada rumah baru yang tersedia untukku, tapi aku merasa masih bisa bertahan. Semoga, pertahananku di rumahku itu tidak akan sia-sia.

Medan Merdeka Selatan
04 November 2010
18.15 WIB
Sedih dan miris melihat status FB teman-teman
**pilihan adalah pilihan yang harus dihormati**

11.02.2010

Kamu itu Ada, tapi siapa?

Sudah lama sejak terakhir aku menyapamu. Ah, ternyata tulisanku yang tak bermakna ini ada juga yang membaca selain diriku sendiri. Akhir-akhir ini, aku tidak hanya sibuk bekerja dan memuaskan diriku sendiri. Tetapi, aku berusaha untuk menjalin hubungan dengan seorang pria dan kali ini adalah benar-benar pria lajang bukan pria beristri yang mengaku lajang. Karena, perlahan ingatanku tentang "pria selama lima tahun" memudar. Tidak hanya ingatan secara pikiran tetapi juga ingatan hati. Meski aku belum memutuskan untuk menyukainya. Aku masih berusaha untuk menjaga hatiku supaya tidak terluka.

Pria ini, aku mengenalnya dari status jejaring sosial pertemanan. Sama seperti sebelumnya, dia adalah pembacaku yang ingin mengenalku. Aku sudah mengenalnya sejak lama. Sejak itupun dia berusaha untuk berteman denganku. Namun, aku berusaha untuk menghindar. Pertama kali kesanku padanya, Aku tak terlalu suka dengan dia. Karena dia sangat berbeda denganku.

"Bukankah perbedaan itu bagus, kalian saling melengkapi," kata salah seorang temanku yang menyuruhku untuk berhenti berbuat sombong dan mulai memperhatikannya.

"Berbeda di sini adalah benar-benar berbeda. Bukan jenis perbedaan yang bisa dikompromi," dalihku.

"Cobalah buka hatimu untuk siapa saja. Sudah lama, kamu bersembunyi dari dunia nyata. Biarkan siapapun masuk ke dalam pintu hatimu dengan kuncinya sendiri. Siapa tahu, kunci pintu itu sudah berubah," nasehat dia.

Berulang kali, perkataan temanku itu selalu aku ingat. Yah, aku harus berusaha untuk mencari kamu, seseorang yang menjadi kekasih hatiku. Kamu itu bisa siapa saja. Bisa dia, atau bisa dia yang lain. Aku tidak tahu. Jodoh datangnya bisa dari mana saja. Kamu bisa juga adalah seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ibuku untukku.

Aku lelah mencari kamu. Saat aku mengira kamu adalah pria lima tahun itu, ternyata Tuhan bilang bukan. Apakah kamu itu adalah dia yang sangat berbeda denganku yang ternyata bisa membuatku tersenyum. Entahlah, dimana aku bisa menemukanmu.

Selain dia, ada juga pria lain yang ada di tempat kursus bahasa Inggrisku. Tapi, lagi-lagi aku masih belum berani. Takut kecewa adalah penyebabnya. Ah, ternyata aku pengecut untuk urusan hati.

Sebenarnya, ada satu pria lagi. Pria ini berbeda, karena aku menyukainya. Aku tertarik padanya. Dia memiliki sikap hidup yang sederhana dan sabar. Sayangnya, dia berbeda agama denganku. Dari awal, tentunya aku tidak berani mengambil resiko untuk meneruskan rasa ketertarikanku padanya. Perbedaan keyakinan terlalu besar untuk dijembatani dan kebanyakan adalah jalan buntu. Diapun menyadarinya hingga kami hanya berteman.

Kamu, coba tunjukkan siapa jati dirimu? Aku sudah lelah untuk menebak-nebak siapakah kamu?

Fatmawati
02.47
02 November 2010