4.24.2011

Reuni Kecil

Sabtu pagi yang cerah, saya pergi mengunjungi rumah mba Nani. Jalanan Jakarta yang lengang membuat saya mampu menempuh jarak Fatmawati-Setu Babakan hanya dalam waktu 15 menit. Asik, kalau saja Jakarta seperti ini setiap hari. Ini kan long weekend, pasti para penghuni Jakarta yang sudah sibuk lelah dengan aktivitas kantor pergi berlibur dengan keluarga ke Puncak. Bisa saya bayangkan antrian jalan ke Puncak. Status TMC Polda pasti jalanan menuju puncak adalah padat merayap.

Yah, sudah lama saya tidak bertemu dengan mba Nani. Semenjak kepergiannya ke Jerman untuk menuntut ilmu. Padahal, dulu hampir tiap hari kami selalu bertemu karena kami teman satu lapangan peliputan.

Hwa, ternyata sampai di rumah mba Nani, saya harus menunggu karena mba Nani dengan pria perancisnya [mas emilio] pergi untuk berbelanja. Fiuh, untung hanya menunggu 15 menit di depan teras rumahnya. Tapi buat saya, 15 menit itu cukup lama karena panas, berdebu dan tidak ada pria ganteng satupun yang lewat atau nangkring di depan rumah Mba Nani. Well, lain kali kalau menyuruh saya menunggu, jangan lupa menyediakan pria ganteng tinggi dan berkulit putih. Setelah itu, pasti emilio bakal berkata, "Di Glodok atau Mangga dua banyak stok tuh cowok kaya gitu!"

Sekilas tentang mba Nani. Saya mengenalnya (lupa kapan persisnya) ketika saya masih di desk nasional. Saya kenal dengan dia karena kami pernah sama-sama meliput di gedung yang katanya rumah rakyat itu dan kementrian plat merah. Buat saya, dia adalah wartawan senior yang patut dikagumi. Semangat '45-nya harus ditiru oleh wartawan-wartawan muda saat ini. Buat saya, dia bukan hanya seorang teman dan sahabat. Tetapi dia seperti seorang kakak yang tidak pernah saya miliki ataupun seorang ibu yang sering mengomeli saya, "Cepat kawin phen! Kawin itu enak. Jangan ntar-ntar, keburu tua lo! Sana cari pacar!". Omelan yang sama dengan ibu kandung saya.

Saya ingat, ketika saya masih menjadi carep di salah satu koran ekonomi kami selalu pulang ke kantor bersama. Dengan menggunakan kopaja 502 dan angkutan M09 [tanah abang-kebayoran lama]. Maklum, karena kami sama-sama satu liputan dan satu grup [kantor yang berdekatan] membuat kami selalu pulang bersama. Dia adalah teman seperjuangan saya dalam menikmati macetnya kawasan tanah abang hingga palmerah. Masa di mana saya belum menggunakan motor dan masih mengandalkan transportasi umum.

"Phen, hari ini kita masak sop ya pake jamur, ayam dan telur puyuh," kata Mba Nani.

Hummm...nyummmy pasti terasa enak. Apalagi dengan kondisi perut lapar belum sarapan. hehehe... Telur puyuh dan jamur, sound is good. Saya sangat menyukai telur puyuh dan jamur. Di dapur miliknya, kami bercerita banyak. Mulai dari kisah saya hingga kisah dia ketika di Jerman. Alih-alih membantu mba Nani masak di dapur, saya justru ngemil telur puyuh matang yang seharusnya buat sop. Sementara mas emilio mengulek lombok, mba Nani meracik bumbu, saya hanya melihat dan mengganggu mereka [Dasar tamu yang tidak sopan!]. Wah, saya sungguh iri dengan kekompakan mba Nani dengan pria perancisnya. Kalau saya menikah, saya ingin seperti mereka.

Topik yang sama muncul kembali. "Phen, cepet kawin! cari pacar!," Tapiiii kali ini bukan mba Nani yang menyuruh saya untuk cepat-cepat menikah. Mas Emilio ikut-ikutan menyuruh saya untuk cepat-cepat menikah. "Menikah itu enak koq!" kata mas emilio. Sayapun menjawab, "Nanti kalau ada pria yang tepat mas. Pria yang gak repot, enak diajak sebagai partner,".

Kemudian, sop ala mba Nani sudah matang. Hummm...nyummmyyyy perut saya sudah lapar. Tapi dua makhluk lain yang saya tunggu belum muncul juga. Mereka adalah Nana dan Vega. Hari Sabtu [24/4] kami bertiga sepakat untuk berkunjung ke rumah Mba Nani. Ternyata mereka masih menunggu kereta. Karena menunggu mereka lama, kami bertiga pun (saya, mba Nani dan mas Emilio) makan duluan.

Tak lama kemudian, ternyata Nana dan Vega sudah di stasiun UI Depok. Saya dengan mas Emilio menjemput putri-putri ayu itu di stasiun. Saya membonceng vega sedangkan mas emilio membonceng Nana. "Wah, mestinya gw yang dibonceng ama emilio jadi kaya bapak dan anak," kata Vega. (Jadi maksudnya apa nih neng, kalo Nana dibonceng ama emilio???)

Akhirnya, kami berempat bisa berkumpul kembali. Sepertinya sudah lama sekali kami tidak berkumpul seperti ini. Bahkan, saya juga jarang bertemu dengan nana atau vega. Dulu, kami berempat satu desk tapi saat ini kami berbeda desk. Kesibukan bekerja membuat kami sulit untuk menentukan kecocokan waktu untuk bertemu.
Saya sangat merindukan kebersamaan ini. Kamipun bercerita, bercanda dan saling meledek satu sama lain. Hahahaha...

Hingga suatu waktu mba Nani berceletuk, "Wah, kalian ini harus dipisah! Kalau ga gitu kalian bakal selamanya single. Masa bertiga sama-sama jomblo!,". Duh, gagasan yang cukup aneh sebenarnya. Apa hubungannya jomblo dengan pertemanan kami bertiga??

Di rumah, kami menonton dvd hingga gosip. Tak disangka ternyata vega selain update soal kilang migas, dia juga update soal gosip selebriti. Parahnya, ternyata vega tau jadwal Ariel Peter Pan muncul di salah satu acara di salah satu stasiun teve swasta. ck...ck...ck... salut buat neng Vega. Pembicaraan kamipun melebar soal KD hamil 4 bulan, kawin lari tommy kurniawan hingga kasus arumi bachsin. "Sudah cukup senin-Jumat membaca kontan online mba. Sabtu dan Minggu adalah gosip," kata Vega.
Bosan dengan tayangan telivisi, kami berjalan ke arah belakang rumah mba Nani. Kamipun berjalan kaki. Kemudian Nana membawa tas kecilnya yang berisi payung. Namun, ada sedikit konflik terkait dengan tas kecil itu.

"Lo bawa apaan sih Na?" kata Vega

"Payung, takut ntar kalau hujan!" jawab Nana.

"Duh, Payung aja. Sini gw bawa payungnya, ngapain pake tas. udah kaya debt collector aja!"

Hahahahaha ---> meski kemudian, Nana masih membawa tas debt collectornya.

"Eh, sekarang ***IB*** udah ga pake debt collector tapi pake santet," celetuk mba Nani.

"Hah, seriusan mba Nan?" ---> Bodohnya kami bertiga mempercayai cerita mba Nani.

"Iya, kan kemarin gw abis liputan itu. Jadi kalau lo ga bisa bayar langsung di santet,".

OMG!!

Di belakang rumah, ternyata sudah disulap menjadi danau dan ada jembatan. Padahal tadinya, itu adalah jalanan yang dipenuhi dengan sampah. Pemandangannya cukup bagus, kamipun mengambil foto di jembatan itu. Idih, Norak ya! Tapi gak apa-apa, hasil fotonya bagus koq, bisa dipajang di facebook. Lumayan buat ganti foto profil.
Awalnya, saya tak mau bergabung dengan Nana dan Vega untuk berfoto di atas jembatan. Melihatnya saja sudah ngeri! "Ga mau ah, Tuh lihat jembatannya goyang-goyang. Gw udah takut ketinggian, dibawahnya masih ada air. Gw kan ga bisa renang mba, kalau jembatannya putus gimana?" kata saya parno!

Namun, melihat mereka berdua asyik berfoto, sayapun ingin ikut juga! ---> dasar labil!Kamipun foto bertiga di jembatan itu meski saya dengan perasaan takut. Ketika saya mengambil foto sendiri, si abege labil alias vega dengan ulahnya menggoyang tali jembatan sehingga jembatan itu semakin bergoyang.

"Neng!!! awas lo! Eh, gw turun deh!" kata saya. Bukannya kasihan dengan rasa takut saya, neng Vegapun semakin menjadi menggoyang tali jembatannya. Duh, dasar abege labil.

Ga terasa, waktu sudah semakin sore. Neng Vegapun harus kembali ke Bogor. Kemudian, saya kembali mengantarnya ke stasiun UI depok. Selepas magrib, Saya bersama Nana, pulang ke arah Jakarta dengan motor. Mengantarkan nana ke kosannya di Kebon Sirih baru kembali pulang ke arah Fatmawati. Dalam perjalanan saya dari Kebon Sirih-Fatmawati, ketika di Senayan hujan (tidak deras juga tidak gerimis). Haduh, padahal tinggal bentar lagi! Alhasil, saya basah kuyup. Yah, meskipun saya basah kuyup kehujanan, saya sangat menikmati hari ini. Karena, basah kuyup kehujanan tidak sebanding dengan tawa yang saya dapatkan pada hari ini. Terima kasih ya Mba Nani dan Mas Emilio yang bersedia kami obrak abrik rumahnya. Terima kasih kepada Nana dan Vega yang bersedia meluangkan waktunya untuk berkumpul bersama. Kapan nih ada kaya begini lagi????

4.17.2011

KIMCHI (1): Terima kasih Tuhan, semoga kali ini bukan kabar burung

Korean Idols Music Concert Hosted in Indonesia [KIMCHI] siap digelar pada 4 Juni 2011. Promotor Wproduction siap mendatangkan boy band Super Junior a.k.a Suju ikut serta dalam KIMCHI. Hwaaaa... kabar ini tentu saja membuat saya girang bukan kepalang. Sebab, saya tak perlu menunggu hingga tahun depan untuk menonton konser Suju di Singapura. Bahkan, saya mungkin berkesempatan untuk melihat aksi panggung Kim Heechul sebelum dia wajib militer pada tahun ini. Saya juga bisa melihat Lee Donghae. Uh, pria imut satu ini telah berhasil menggoda saya.

Sebelum kabar ini resmi beredar, sempat tersiar kabar soal Suju di twitter maupun facebook. Pertama Suju KRY akan datang ke Indonesia pada bulan Desember 2011. Namun, ini hanyalah hoax. Kemudian, beredar kabar bahwa Suju-M akan tampil di Medan pada bulan Juni. Hwaaa....alhamdulillah kabar ini cuma hoax. hehehe...

Mendatangkan suju tak mudah. Buktinya setiap konser super show, nama Indonesia tak pernah masuk dalam daftar konser. Hanya Singapura, Malaysia dan Filipina sebagai negara tetangga yang masuk dalam daftar konser suju. Sebab, di Indonesia sulit menemukan lokasi yang bisa dijadikan tempat konser yang sesuai dengan gaya panggung mereka.

Setiap penampilannya, Suju selalu meminta panggung yang luas. Bahkan, pihak manajemen suju juga minta kapasitas penonton harus lebih dari 10.000 orang. Namun, dengan bantuan pihak kedutaan Korea, akhirnya pihak manajemen suju bersedia dan memilih istora senayan dengan kapasitas 7.000 orang.

Di tengah kesibukan liputan, saya sempat meluangkan sedikit waktu untuk hadir di acara pers conference WProduction di daerah mangga dua terkait dengan KIMCHI ini. Meski sedikit terlambat, saya dengan gustidha hadir dalam pers conference tersebut. Terima kasih kepada Ferial Thalib atas undangannya.

Managing Director WProduction, Sean Sudwikatmono menjamin tak akan ada pembatalan konser seperti yang terjadi dengan rencana konser JYJ beberapa waktu belakangan ini. Sean optimis karena sebelumnya WProdcution sudah pernah berhasil mendatangkan Rain dan Kim Bum.

Menurut Sean, musisi yang tampil dalam KIMCHI tidak akan bertambah atau berkurang jumlahnya. Mereka adalah Suju, Park Jung Min, The Boss, Girls Day dan X-5. Sean juga menjanjikan konsep panggung suju akan sama seperti konser-konser suju sebelumnya. "Mungkin memang tidak ada hujan di atas panggung. Tapi kami berusaha berikan yang terbaik. Panggung akan menggunakan lampu-lampu dan sinar laser," kata Sean.

Wah, mendengarkan penjelasan Sean yang terasa meyakinkan membuat saya untuk segera menuju ke bulan Juni. Wah, rasanya sudah tidak sabar lagi melihat pria-pria tampan itu. Sayang, WProduction masih belum dapat memastikan tanggal persisnya Suju datang ke Indonesia. Tanggal kepastian suju datang akan ditentukan dua minggu sebelumnya. Wah, saya berharap mereka menginap di Indonesia sehingga saya bisa mencoba untuk melakukan stalking (menjemput di bandara).

Harga tiket konsernya bervariasi, mulai ada yang Rp 550ribu hingga Rp 2,5 juta. Pada awalnya, saya tergoda dengan tiket Rp 2 juta karena posisinya persis di depan panggung. Namun, akal sehat mencoba saya untuk mencegah itu. Saya masih banyak memiliki kebutuhan yang cukup banyak terkait dengan keinginan saya kuliah s2 di Eropa. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengambil tiket Rp 550 ribu. Toh, dengan tiket itu, nafsu saya terhadap Suju sudah terpuaskan. hehe... (Yang penting adalah stalking).

Malam ini, saya harus tidur cepat. Sebab, besok (17/4), saya dengan gustidha akan mengantri tiket Suju di Grand Indonesia. Counter tiket memang baru dibuka pada jam 10.00 tapi melihat ulah ababil, saya dan gustidha memutuskan untuk antri mulai pukul 08.00. Doakan semoga saya berhasil mendapat tiketnya!!

Bosan dengan Pengusaha (yang selalu) mengeluh Melihat dari kacamata wartawan energi

Perbaikan lapangan Santos di Madura membuat para pengusaha di Jawa Timur berteriak mengeluhkan kekurangan gas. Padahal, unplanned shutdown (penghentian produksi yang tidak terencana) saja belum terjadi. Menurut keterangan resmi dari BP Migas, pemerintah tidak akan begitu saja menghentikan lapangan Santos tanpa dengan mengganti dengan pasokan gas dari tempat lain. Para pengusaha mengeluhkan upaya pemerintah untuk menjual gas LNG ke luar negeri sedangkan kebutuhan dalam negeri masih kurang.

Dulu, pada awalnya saya akan membantu pengusaha untuk memperjuangkan kebutuhan gas. Saya pasti akan bersemangat menulis untuk menumbangkan rencana pemerintah mengekspor gas. Bukan membela kepentingan pengusaha melainkan lebih kepada ketahanan energi di dalam negeri. Apalagi dampak dari berkurangnya pasokan gas akan merembet kepada persoalan tenaga kerja dan penutupan pabrik.

Kini, saya bosan dengan semua itu. Sebab, pengusaha dan kelompok industri hanya bisa mengeluh saja. Mereka [pengusaha/industri] tidak mau keuntungannya berkurang sehingga mereka meminta insentif ini dan insentif itu. Padahal upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah. Saya sependapat dengan opini ibu Sri Mulyani bahwa pengusaha Indonesia tergolong manja.

Persoalan gas memang persoalan klasik. Sejak saya memasuki desk energi, kebutuhan gas dalam negeri selalu kurang dan terbentur dengan jumlah gas yang terbang ke luar negeri. Saat ini, yang menjadi perdebatan adalah keinginan pemerintah untuk menjual tambahan produksi kargo gas LNG ke Jepang. Sebab, negeri asal Hideaki Takizawa tersebut sedang membutuhkan tambahan LNG sebagai bahan bakar akibat matinya pembangkit nuklir di sana. Namun, kalangan industri menentang habis-habisan rencana ini karena industri kekurangan gas.

Pendapat pribadi saya, biarlah LNG tambahan itu terbang ke negeri tempat tinggal Dorameon tersebut. Toh, yang dijual adalah kelebihan produksi gas LNG. Artinya, produk yang dikirim saat ini sudah diolah dalam bentuk LNG. Kalaupun di jual di dalam negeri, apakah sudah ada fasilitas pengubahnya? Karena, industri menggunakan gas pipa bukan LNG. Sehingga pilihan ekspor adalah pilihan yang masuk akal. Daripada kargo itu rusak, lebih baik di jual ke luar negeri sebagai tambahan pendapatan negara.

Memang, pemerintah juga salah tidak mau membangun infrastruktur gas. Pipa untuk gas yang dibangun oleh PGN, jumlahnya masih terbatas. Karena margin bisnis pipa sangat kecil untungnya membuat hanya PGN yang mau membangun pipa. Sedangkan receiving terminal LNG (fasilitas pengubah LNG menjadi gas) yang sedianya dibangun di Teluk Jakarta dan Belawan masih belum jelas nasibnya. Padahal kehadiran receiving terminal LNG ini sangat dinantikan kehadirannya. Tak hanya untuk kepentingan industri tetapi juga kepentingan perusahaan setrum nasional. Kalau receiving terminal sudah ada, produksi LNG Tangguh, LNG Bontang dan LNG manapun bisa dipergunakan di dalam negeri.

Bahkan, saya setuju jika produksi LNG Tangguh yang dialokasikan ke China diputus kontraknya dan dialihkan ke delam negeri. Sebab, LNG yang dikirim ke negara tempat Hang Deng (mantan suju) tinggal tersebut harganya murah sekitar US$ 3,5 per mmbtu. Dalam negeri berani membeli gas LNG dengan harga US$ 6,5 per mmbtu. Jepang saja membeli LNG dengan harga US$ 16 per mmbtu. Sayup-sayup terdengar kabar bahwa Renegoisasi harga dengan China mengalami kegagalan. Cuman, masalahnya hingga hari ini kita belum memiliki receiving terminal.

Saya pernah berdebat dengan salah satu pengusaha soal gas ini. Entah tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti, si pengusaha itu tetap bersikukuh untuk meminta jatah ekspor LNG ke Jepang buat industri. Lalu saya tanya balik, "trus pak kita mengubahnya pakai apa? cara mengolah LNG supaya menjadi gas bagaimana caranya?". Tanpa tedeng aling-aling, si pengusaha langsung menuding pemerintah untuk membuat receiving terminal.

Kemudian saya tantang bapak pengusaha itu lagi, "Pak kenapa tidak Forum Industri Pengguna Gas bumi (FIPG) membentuk usaha patungan untuk membuat receiving terminal, toh itu untuk kebutuhan industri. Sama seperti PLN yang menggendeng Pertamina membangun receiving terminal skala kecil di 8 lokasi di Indonesia Timur? Sehingga, nanti industri bisa minta gasnya dari mana saja". Bapak itu diam tidak menjawab. Well, saya menebak, pasti hitung-hitungannya tidak masuk dalam skala pengusaha. Margin untungnya kecil, sementara untuk membuat receiving terminal membutuhkan biaya investasi setidaknya US$ 200 juta dengan kapasitas 1,5 mtpa.

Keluhan lain adalah soal capping tarif dasar listrik dan diskon tengah malam. Soal capping listrik, para pelaku industri menuntut diberlakukannya capping. Sebab, terdapat beberapa industri yang kenaikannya lebih dari 18% (batas kenaikan tdl yang ditetapkan pemerintah). Ketika pelanggan bisnis sudah dicabut cappingnya, pelanggan industri masih meminta supaya capping tidak dicabut. Lagi-lagi mereka menggunakan alasan kompetitif alias daya saing menjadi lemah karena biaya tinggi. Akibatnya harga naik dan bisa banyak pengangguran. Ancaman yang selalu sama yang digunakan oleh pengusaha industri ketika tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Duh, padahal tarif dasar listrik kita tidak pernah naik sejak 2003 silam. Kenaikan tarif dasar listrik pada 2010 cukup wajar. Sebab, saat ini harga minyak naik terus mengakibatkan bpp listrik PLN juga naik. Apakah selamanya kita akan bergantung kepada subsidi? Bukankah lebih baik kita menjadi warga mandiri yang dapat berdikari? Pelan-pelan, kita harus lepas dari ketergantungan terhadap subsidi.

Sementara untuk diskon tengah malam, PLN berjanji memberikan fasilitas diskon 20% bagi industri yang mau menggeser jam kerjanya dari waktu beban puncak ke waktu bukan beban puncak. Tujuannya PLN akan melakukan penghematan beban dan bahan bakar. Sebab, ketika beban puncak terjadi, PLN selalu membakar bahan bakar minyak (bbm). Tak disangka ternyata pengusaha minta supaya diskonnya dinaikkan antara 20% hingga 50%. Oalah, sudah dikasih hati tapi minta jantung.

Mereka [pengusaha] beralasan pasti ada tambahan biaya karena harus ada upah lembur sebagai kompensansi penggeseran jam kerja. Mereka menghitung 20% belum cukup untuk membuat keuntungan mereka semakin melar. Bahkan, ada juga pengusaha yang menolak rencana itu karena tidak mau membayar upah lembur. Padahal, jika ini berjalan, cukup win-win solution. PLN senang karena hemat dan beban puncak berkurang sedangkan industri juga menang bisa menjalankan pabrik tanpa byar pet. Ke depan, PLN juga bersedia mengganti tambahan biaya untuk industri yang menggunakan genset dan bukan listrik PLN ketika waktu beban puncak. Sudah enak begini, pengusaha industri mau model seperti apa lagi?

Lalu, ada satu insentif yang mereka minta dan mampu membuat saya geram adalah ketika pengusaha meminta pemerintah mensubsidi bbm industri. Sebab, harga minyak yang terus melambung tinggi membuat pengusaha ini ketar-ketir. Pengusaha mengeluh, jika ini terus berlangsung, industri banyak yang gulung tikar. Si bospun menyuruh untuk mem-fu ini kepada pemerintah apakah ada insentif seperti itu atau tidak. Fiuh, pengusaha ini mau enaknya. Mereka tak mau mengeluarkan biaya tambahan karena harga minyak naik.

Menurut pendapat saya, kenapa sih mereka tidak menyesuaikan saja harganya dengan harga bbm? Jika harga bbm naik, harga produk dinaikkan. Tapi jika harga bbm turun, harga produk juga bisa turun. Mereka [pengusaha] tidak layak diberikan insentif subsidi bbm industri. Karena mereka bisa mandiri. Toh, keuntungan dinikmati sendiri masa pemerintah juga yang menanggung biaya bbm. Sementara pengusaha itu menetapkan harga jual seenaknya. Saya belum pernah melihat pengusaha menurunkan harga jual meski harga minyak turun. Sudah saatnya pengusaha di Indonesia mandiri dan tidak manja. Kalau manja seperti ini terus, bagaimana bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional?

4.16.2011

Bom lagi!

Saya selalu menyukai hari Jumat. Namun, khusus hari Jumat tanggal 15 April saya tidak menyukai hari Jumat. Karena ada peristiwa ledakan bom di masjid mapolersta Cirebon. Ledakan terjadi saat orang-orang sedang menunaikan sholat Jumat. Duh, apa lagi ini? Bahkan ketika di rumah Tuhan sekalipun tak ada jaminan keamanan.

Semua stasiun telivisi berlomba-lomba menayangkan berita tersebut. Stasiun tv merah dan biru mengupasnya habis-habisan bahkan terkesan lebay. Masih belum jelas apa motif peledakan masjid tersebut? Polisi hanya menduga bahwa satu-satunya korban yang tewas dalam peledakan tersebut adalah pelaku bom bunuh diri.

Berbagai narasumberpun di wawancarai oleh tivi merah dan tivi biru itu. Mulai dari pengamat, saksi mata hingga polisi. Namun, saya terkesan stasiun tv tersebut menciptakan opini tersendiri dan bukan fakta atas kejadian peledakan bom. Semuanya masih sumir, Namun kedua stasiun telivisi itu menayangkan seolah-olah itulah yang terjadi.

Bahkan waktu kejadian saja berbeda. tivi merah menayangkan bom meledak setelah selesai sholat jumat namun belum bubar. Sementara tivi biru mengatakan bom meledak ketika sholat jumat baru akan dimulai. Wah, mana yang benar?

Yang pasti, lagi-lagi bom itu diskreditkan dengan satu agama tertentu. Dan untuk kesekian kalinya agama Islam selalu menjadi kambing hitam. Ada salah satu narasumber (saya lupa namanya) mengatakan bahwa ini adalah ulah para muslim golongan keras yang kecewa dengan penangkapan Ba'asyir oleh polisi.

Terlalu dini mengambil kesimpulan tersebut. Pelakunya bisa siapa saja. Buat saya bom tidak ada hubungannya dengan agama. Mereka-mereka yang suka bermain dengan bom bukanlah orang muslim melainkan orang sakit jiwa yang hati nuraninya sudah mati.

Saya muslim, selama saya belajar tentang islam, konsep islam bukan dengan kekerasan. Islam itu menyukai kedamaian. Rosul dan Nabi menegakkan agama islam dengan cara damai. Bahkan para wali yang menyebarkan agama islam menggunakan budaya dan cara-cara santun (bukan dengan kekerasan).

Bom ini bisa juga cara untuk menutup isu tertentu. Tapi isu apa yang ditutup? Tega sekali! Kejadian ini juga bisa direkayasa bahwa kondisi sudah tidak aman sehingga masyarakat membutuhkan polisi. Ah, saya tidak tahu. Pertanyaan besar saya yang menggantung adalah, Kenapa harus Cirebon?

*smoga dengan berita ini Suju masih tetap mau tampil di Indonesia (sangat berharap kepada KIMCHI)*

4.15.2011

Facebook

Semuanya bermula dari facebook dan berakhir karena facebook. Saya mengenalnya kembali lewat jejaring sosial "facebook". Dalam kehidupan nyata, kami pernah berteman. Tetapi itu sudah beberapa tahun silam sebelum facebook menjadi makcomblang untuk kami. Tadinya, dia bukan orang penting dalam kehidupan saya. Namun, lambat laun dia menjadikan saya membuatnya menjadi orang penting buat saya. Dia selal
u pandai mengambil hati saya. Meski berkali-kali saya bersikap cuek terhadapnya, Ia selalu peduli dengan saya.

Saya tidak jatuh cinta dengan dia. Tetapi dia lebih seperti kepada kebiasaan. Karena dia selalu ada untuk saya sekalipun saya mencoba untuk mengusirnya keluar. Dia istimewa karena dia berbeda. Dia tidak sempurna tetapi mampu menjadi penyeimbang saya. Dia bisa bertahan karena dia gigih. Sayapun mencoba untuk menjadikan dia yang terakhir untuk saya.

Meskipun, saya mencoba yakin dengan dia tapi insting saya mengatakan "Jangan Percaya Padanya!". Keganjilan dalam hati saya membuat saya berpikir bahwa saya takut dan bersikap apatis. Tidak seperti biasanya yang memperhitungkan insting, saya justru semakin melemparkan diri ke pelukannya. Hingga saya tidak sadar bahwa itu adalah Fatamorgana.

Cukup banyak bukti di depan mata yang mampu membuat saya meragukannya. Namun, dia pandai sekali berakting dan memainkan peran sebagai pria baik. Ibarat drama Korea, dia bisa disejajarkan dengan akting BSB di drama 49 days.

Sayapun buta dan tuli. Hingga akhirnya Tuhan menunjukkan sesuatu yang membuka mata dan telinga saya. Tuhan seperti becanda dengan saya. Lewat Facebook, Tuhan mempertemukan kami. Lewat Facebook pula Tuhan menunjukkan sesuatu yang membuat saya mengambil keputusan berpisah. Dalam sebuah hubungan, saya bisa mengkompromikan segalanya kecuali satu kepercayaan.

Shock, marah, kaget dan kecewa. Bahkan, sayapun mencoba menghindar. Namun, itu bukanlah jalan keluar terbaik. Apapun konsekuensinya, saya harus menghadapinya. Kenyataan pahit sekalipun lebih baik dari khayalan manis. Hari itu juga, saya putuskan untuk mengakhirnya. "Berakhir/putus" memang bukan kata yang indah, tapi keputusan ini adalah jalan yang terbaik. Meski dia masih menginginkan untuk berlanjut. Sayang, rasa kecewa ini sudah tak bisa dikompromi.

Fatmawati
22.53 WIB
*sambil nonton episode 7 drama 49 days*

4.01.2011

I love Friday

Terima kasih Tuhan sudah hari Jumat. Ini berarti sudah menjelang weekend. Waktunya untuk mengistirahatkan tubuh dan otak. Maklum saja, seminggu ini saya dibuat gila dengan agenda liputan. Jadwal selalu pagi, berpindah-pindah tempat dalam waktu yang hampir berdekatan (seperti ingin menjadi amoeba untuk membelah diri) hingga rapat dpr yang tidak ada habisnya.

Namun, saya masih memiliki satu hari lagi sebelum benar-benar weekend. Sebab, hari Sabtu saya masih harus liputan pagi *again!* untuk mengisi halaman life style dengan tema berkuda. Saya sudah membuat janji temu untuk wawancara dengan salah satu sumber berkuda saya. Dan ibu Dewi Larasati yang baik hati itu bersedia memberikan waktunya khusus hari Sabtu. Oh, Tuhan! Tapi mengeluh juga bukanlah solusi yang tepat.

Jumat ini ada dua agenda yang hampir berbarengan. Pertama jam 08.30 di kementrian ESDM, kemudian pukul 09.30 di kantor pusat PLN. Dengan melihat jadwal, saya harus memutuskan salah satu. Pilihanpun jatuh kepada PLN. Selain karena jamnya lebih siang, lokasi peliputanpun dekat dengan kosan.

Tuhan memang baik. Hari Jumat itu, banyak direksi PLN hadir. Sehingga sayapun memiliki banyak berita karena banyak isu yang bisa ditanyakan. Sekali lagi pilihan sayapun tepat. Karena di email bermunculan rilis-rilis acara di kementrian ESDM. Sekali lagi, saya bersyukur dengan pilihan saya.

Meminjam ruangan persroom PLN, saya bersama dengan para pewarta lainnya mencoba untuk membuat berita. Hingga satu persatupun pergi. Ada yang pulang ke kantor, ada yang pulang ke rumah dan ada yang belajar tentang migas di BP Migas. Hanya saya dan ibeth yang tertinggal di ruangan persrom itu.

Saya tak banyak membuat berita hari itu. Cukup dua berita dan sisanya ditabung untuk hari Senin. Kami berdua pun menyelesaikan berita pada sore hari. Kemudian saya dan ibeth memutuskan untuk jalan ke blok M.

"Feni, kita kalau abis dari liputan PLN dan ga ada apa-apa setelahnya, pasti pergi ke blok M ya," kata Ibeth.

"Haha, iya beth. Yang penting kan urusan berita sudah selesai. Kewajiban sudah terlaksana,"

Kamipun berjalan-jalan ke mall blok M. Awalnya, saya ingin mencari cardigans. Alih-alih mendapatkan cardigan, saya justru mendapat sepatu baru. Itupun tidak sengaja karena ada diskon "buy one get one". Melihat promo itupun, langsung saja, saya dan ibeth memutuskan untuk membeli. Lumayan, dengan harga Rp 99.900, kami bisa mendapatkan dua pasang. Cukup menarik bukan?

Sayapun memilih sepatu dengan pita berwarna hijau. Sementara Ibeth memilih sandal pink berhak yang cukup cantik. Memilih barang-barang itu tidaklah mudah. Sebab, karena diskon barang yang adapun terbatas. Ibeth, berkali-kali memilih selalu saja tidak ada ukurannya. Ketika ada ukurannya, ia tidak menyukai modelnya. Akhirnya, pilihan jatuh pada sandal pink tersebut. Kemudian kami pergi ke toko buku, mencari kado untuk pernikahan seorang teman (namun tidak menemukan yang cocok) dan kemudian makan.

Baru pukul 08.00 malam, kami berpisah. Ibeth sudah dijemput oleh sang suami "kaka alam" sedangkan saya harus kembali ke kantor karena piket. Sampai kantor ada 4 panggilan tak terjawab di handphone saya. Ternyata berasal dari seseorang yang kadang kala saya tunggu dan kadang kala saya ingin jauhi. Kemudian sayapun mencoba menelponnya kembali. Sayang belum ada balasan.

Cukup wajar, sebab di sana pasti sudah jam 11 malam. Dia memang sedang bertugas di papua. Karena tugasnya itulah, jadwal kami untuk bertemu pada hari Minggu batal. Ah, baru 4 hari dia di sana tapi cukup membuat saya khawatir. Saya ingin dia kembali ke Jakarta secepatnya!

Tak lama kemudian handphone saya berbunyi. Ternyata dia yang menelfon. Hati sayapun melonjak gembira. Kami bercakap sebentar, membicarakan tentang satu hari kami. Saya juga menanyakan bagaimana penerbangannya? Semoga dia baik-baik saja.

"ati-ati pulangnya, kan udah malam. Nanti kalau sudah di kosan, kasih kabar ya!"

Lagi-lagi saya berterima kasih kepada Tuhan. Sebab, Tuhan mempertemukan saya dengan orang seperti dia. Seseorang yang bisa menerima saya apa adanya sehingga saya tidak harus menutup-nutupi atau berbohong, seseorang yang tidak protes ketika saya pulang malam. Alih-alih protes dia justru selalu bilang "hati-hati di jalan". Seeorang yang mendukung saya untuk melanjutkan s2 di Eropa. Seseorang yang sedang berpikir keras untuk menerima tawaran perjanjian pra nikah. Saya tahu ini masih awal untuk kami menuju lebih serius. Saya hanya ingin menjalaninya seperti saya menjalani hari ini. Ringan dan tanpa keluhan meskipun kondisi benar-benar membuat saya sudah gila.

Kebayoran Lama No 1119
22.35 WIB
Jumat, 1 April 2010