"Hei mana laporan listingan kamis malam dong. Sedang nulis ya. Saya tunggu,"
isi pesan singkat itu berhasil menggaggu tidur siang saya. Ini adalah hari minggu, hari di mana saya libur. Berdasarkan jadwal libur yang disusun bulan Maret 2011, saya mendapatkan 3 hari jatah libur di hari Minggu. Damn! itu berarti sama saja, saya tidak mendapatkan libur. Karena, libur hari Minggu mereka beranggapan saya memiliki stok berita Jumat. Itu berarti saya masih bekerja. Lagi-lagi libur yang sudah menjadi hak seorang karyawan harus diperkosa lagi.
Dengan langkah gontai, saya mengambil netbook. Kemudian, memukul-mukul keyboard untuk menyusun kata-kata demi sebuah berita. Seperti robot, saya mengerjakan perintah yang ada di pesan singkat itu. Kalau boleh memilih, saya ingin libur di hari biasa (senin-jumat).
Teringat percakapan saya dengan pengirim sms beberapa waktu lalu.
"Loh mas, itu kan hari libur seharusnya tidak ada berita kan," kata saya.
"Iya tapi kamu harus nyetok berita. Ini sudah sesuai dengan kesepakatan," kata dia.
"Kesepakatan siapa? saya tidak merasa sepakat hari libur harus nyetok berita," tanya saya balik.
"Ini sudah menjadi kebijakan kompartemen," tegas dia.
Setelah dia menutup sambungan telepon itu, mood saya menjadi hilang. Saya marah dan kesal. Dia selalu saja mengganggu libur saya. Bukan kali ini saja dia mengganggu libur saya. Apakah saya tidak boleh libur? Kekesalan saya sudah memuncak, apalagi sebelumnya ketika cuti, mendadak dia membatalkan satu hari jatah cuti saya. Dalam surat pengajuan cuti, saya mengajukan cuti mulai tanggal 7 hingga 13. Tanggal 14 Februari baru masuk. Namun, entah apa yang terjadi di jadwal libur bulan Februari, tanggal 13 Februari saya sudah masuk. Ketika itu saya berdebat dengan dia karena saya protes soal cuti ini.
"Ya sudah saya lihat cuti kamu di hrd," kata dia.
Sayapun mengecek hrd dan disitupun tertera tanggal 14 Februari saya baru masuk.
"Solusinya, kamu bisa tidak masuk ke kantor tanggal 13 Februari itu tetapi kamu harus kirim berita," kata dia.
Saya kesal luar biasa ketika itu. Solusinya sama saja masih bekerja. Tidak masuk kantor tetapi harus setor berita. Buat saya libur adalah libur. Libur adalah hari di mana saya tidak ingin memikirkan berita. Jangankan menulis berita, di hari libur saya mencegah untuk membuka portal berita atau nonton tv yang berbau berita. Yah, saya masih bekerja tetapi di catatan hrd, cuti saya tidak terpangkas satu hari. Sama saja, dia mengkorupsi jatah cuti saya. OMG, saya sudah tidak tahan dengan dia!!
Di rapat kompartemen saya yang terakhir, saya memintanya kepada dia supaya ketika kita libur, jangan lagi ada stok berita. Namun, dia tetap saja menolak usulan saya. Ini tidak adil, Ini baru akan adil ketika redaktur atau asisten redaktur libur juga harus menyetok untuk mengedit berita? tapi apakah itu bisa berlaku di harian? Seharusnya jika reporter nyetok berita, maka redaktur harus nyetok ngedit berita. Aih, kebijakan ini menurut saya hanya untuk mengamankan posisi redaktur. Karena dia selalu bilang: jika salah seorang libur berita bisa kurang. Duh, menurut saya tugas reporter adalah mengamankan berita sedangkan tugas redaktur adalah mengamankan halaman. Saya kemudian teringat kepada salah seorang teman yang mengatakan, "Enaknya jadi redaktur di *****, bisanya hanya listing tanpa ada solusi untuk ide. Kalau berita kurang, tinggal nelpon reporter buat nambah,".
Terogong
06 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar