12.02.2010

Demi rating dan oplah, profesionalisme dipinggirkan

Ketika Wartawan Berlagak Pialang, salah satu judul berita di Majalah Tempo yang terbit tanggal 29 Nopember 2010. Kisruh Initial Public Offering (IPO) perusahaan baja plat merah, PT Krakatau Steel (KS) berujung kepada pemberitaan soal pemerasan wartawan kepada manajemen KS. Bahkan beberapa hari ini terakhir, nama empat orang wartawan yang saat ini sedang tenar namanya k
arena ikut-ikutan membeli saham KS ramai diberitakan. Salah satu media, Tempo yang sering mengungkap kasus ini, menurut saya terkesan terlalu berlebihan. Mulai dari segi pemberitaan hingga kepada penulisan. Sayang sekali, ketika media yang pernah meraih penghargaan terbaik dalam segi penulisan, ketika menulis soal pemerasan tersebut seperti koran lampu merah.

Proses IPO KS memang cukup alot, nuansa politis tidak mampu terhindarkan lagi. Awal mulanya ketika harga KS ditetapkan dengan harga yang terbilang murah sekitar Rp 850 per lembar saham. Padahal, banyak kalangan menilai, harga saham KS sepantasnya berada di level di atas Rp 1.000 per lembar sahamnya. Banyak wartawan berusaha menulis soal harga KS yang kemurahan itu. Ulasan-ulasan negatif soal IPO KS tidak berhenti ketika sebelum IPO hingga sesudah IPO berlangsung.

Maklum, ketika privatisasi BUMN selalu saja melibatkan unsur politis karena ada anggota dewan pemeras ribuan (a.k.a dpr) orang yang terlibat di dalamnya. Saya tak menuduh, tapi gosip yang beredar para anggota dewan pemeras ribuan orang ini ikut-ikutan meminta jatah. Karena harga yang murah itu, tentu saja makin menarik minat masyarakat untuk memperoleh gain yang tinggi khususnya investor. Banyak orang berburu saham perusahaan baja plat merah ini. Mulai dari institusi hingga masyarakat ritel. Bahkan, salah seorang gubernur juga ikut-ikutan meminta jatah saham kepada Menteri BUMN. Tak tanggung-tanggung, gubernur tersebut meminta jatah saham yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.

Isu panas mulai bergulir, ketika salah satu anggota partai membeberkan fakta-fakta soal harga KS tersebut. Sejak itupula, pemberitaan KS tak ada satupun yang positif. Semuanya n egatif. Pembeberan fakta itu, kabarnya juga karena tidak semua partai politik kebagian jatah yang sama untuk IPO KS. Hanya dua partai politik yang mendapat jatah paling besar di IPO KS tersebut. Entah, bagaimana kebenaran isu ini. Namun, ini adalah kabar angin yang berhembus di sana sini, dari mulut ke mulut. Kebenaran yang tadinya off the record ini, tak mampu masuk ke pojok berita hanya menjadi buah bibir pembicaraan di kalangan wartawan secara terbatas.

Puncaknya, ketika Tempo menulis soal pemerasan empat orang wartawan yang berasal dari media ternama terhadap manajemen KS. Empat orang wartawan ini mewakili 30 wartawan lainnya, meminta jatah saham kepada KS dan meminta uang sebesar Rp 400 juta supaya pemberitaan soal KS ini berhenti. Seperti bom meledak, pemberitaan itu membuat saya kaget setengah mati. Jatuh sudah kredibilitas saya sebagai wartawan. Meski, saya tak terlibat tapi orang akan menilai profesi wartawan sebagai tukang peras.

Saya tak membela keempat wartawan itu. Memang, harus diakui empat wartawan itu salah. Karena bermain saham hanya akan membawa conflict of interest. Investor di Indonesia masih sensitif terhadap berita, sehingga bisa saja wartawan membuat berita untuk keuntungannya pribadi yakni demi naik turunnya saham. Kasus empat wartawan itu memang perlu ditelusuri lebih jauh, tanpa harus membuatnya semakin besar. Tapi Tempo lupa menelusuri jejak siapa dan apa sebenarnya di balik IPO KS.

Isu tentang empat wartawan itu hanyalah tumbal untuk menutupi isu sebenarnya yakni kenapa harga KS bisa semurah itu? siapa yang menikmati harga KS itu dan siapa yang menetapkan harga KS? Isu inilah yang belum terkuak, siapa dalang di balik ini dan berapa besar kerugian negara dengan murahnya harga IPO KS ini? Saya jadi ingin tahu apakah Tempo bisa mengungkap soal penjatahan saham ini tidak hanya soal pemerasan wartawan? bisakah Tempo mengetahui ke mana sebenarnya jalan cerita akan dibawa?

Kegegeran ini tak hanya terjadi di Dewan Pers, di lapangan tempat saya meliput, topik ini juga menjadi perbincangan hangat di kami kalangan wartawan. Karena saya dan teman-teman bertugas di plat merah. Saya sungguh menyesalkan sikap Tempo yang seperti ini. Membuat isu cethek ini berkembang menjadi besar, sedangkan isu besarnya justru tertutupi. Media sekaliber Tempo ternyata tak mampu menguak tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Saya menduga, keagresifan Tempo ini tidak lain untuk menjatuhkan nama Kompas. Karena empat wartawan yang terlibat itu, salah satunya berasal dari Kompas. Tak cuma di media cetak, di media elektronikpun seperti TV yakni TVone juga berusaha menjatuhkan metrotv dengan pemberitaan ini. Lantas, apakah kedua media itu pernah berpikir perang media demi mendapatkan sebuah rating tertinggi, profesionalitas wartawan akan jatuh? Masyarakat akan berpikir, wartawan TVone juga tak ubahnya seperti empat wartawan itu yakni tukang peras. Masyarakat juga akan memberikan stigma, wartawan Tempo juga tak ubahnya seperti empat wartawan itu yakni tukang palak?

Cerita di balik layar, yang mengadukan empat wartawan ini adalah salah satu PR yang memang menangani plat merah. sang PR ini ternyata berusaha mencari kambing hitam atas pemberitaan negatif yang beredar. Karena, sang PR telah ditelpon oleh petinggi plat merah karena pemberitaan yang makin lama makin memojokkan KS. Padahal, plat merah telah merogoh kocek yang cukup banyak untuk menyewa PR ini supaya dapat mengontrol berita yang berkembang.

PR ini kemudian panik dan mengambil jalan pintas menyalahkan wartawan. Lagi-lagi kabar burung, empat nama yang dicatut ini karena empat nama ini berada dalam daftar bbm messenger PR. Bahkan 30 daftar nama itu adalah daftar nama pemain futsal wartawan pasar modal. Dan sebenarnya, di pasar modal, wartawan yang meliput tidak sebanyak itu. PR ini juga tidak selamanya bersih, karena berdasarkan penuturan teman-teman, PR yang menjadi pionir dalam gerakan memberi wartawan sogokan uang ini juga pernah menawari wartawan pasar modal jatah saham KS.

Belajar dari kejadian ini, tak ada yang menang. Semuanya kalah. Tempo tak hanya merusak nama wartawan Kompas tapi keseluruhan wartawan. Khususnya wartawan dalam bidang ekonomi. Nama wartawan Indonesia tak hanya jatuh di kalangan masyarakat domestik tetapi juga internasional. Saya pernah berbincang dengan Kepala atase kebudayaan kedutaan Jerman di Indonesia soal wartawan KS ini. Si bule Jerman ini ternyata tahu banyak soal insiden ini. Bahkan, teman-temannya yang berada di Jerman juga menanyakan kebenaran berita ini. Kalau sudah begini siapa yang akan rugi? Hanya rasa malu yang akan didapatkan.

Untuk Dewan Pers, jika ingin memangkas wartawan jalean ini tak cukup hanya dengan memecat. Keseluruhan sistem ini harus dipangkas habis. Mulai dari tingkah laku narasumber yang tidak mencoba memberi uang ataupun PR yang berusaha untuk menawari mengirim lewat nomor rekening. Tidak hanya itu, harus ada peraturan yang mengatur gaji wartawan dengan cukup besar. Karena, terdapat beberapa pengusaha media yang pelit terhadap gaji wartawan. Tak heran, jika wartawanpun mencari sesuatu di luar.
Hasil akhirnya terhadap kisruh KS ini, wartawan yang akan menjadi korban. Sedangkan pejabat dan partai politik yang terlibat melenggang dengan tenang begitu saja. Misteri di balik harga KS yang murah ini juga tak akan terungkap.

Tidak ada komentar: