5.17.2008

Bagaimana Sikap Anda Ketika Suami Berpoligami?

Kehidupan seorang wanita paruh baya yang berusia 37 tahun itu kini berubah ketika ia mendapati suaminya berpoligami. Pada awalnya ia mengira bahwa kehidupan rumah tangganya sangat bahagia dan mendekati kesempurnaan, namun, apa yang dilihatnya ketika ia sedang mengunjungi salah satu Pusat perbelanjaan bersama dengan kedua anaknya membuat dirinya hancur seketika. Ia melihat suami, orang yang dicintainya dan dikasihinya berjalan mesra dengan seorang wanita cantik yang tidak dikenalnya. Kenyataan ini menampar dirinya, mengoyak-ngoyak apa yang selama ini telah dibangunnya. Hatinya semakin menjerit tatkala mendengar pengakuan dari suaminya bahwa suaminya telah menikah lagi dengan wanita itu tanpa sepengetahuan dirinya.

Fenomena poligami semakin marak akhir-akhir ini, terutama karena diperlihatkan secara vulgar oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan. Dalam antropologi sosial, konsep poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan dan bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabat perempuan sebagai manusia.

Poligami pada hakekatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami. Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak dapat melahirkan keturunan). Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami.

Terlepas dari konsep apakah poligami diperbolehkan atau tidak, pada kenyataannya, sebagian besar kaum perempuan menolak tentang keberadaan poligami. Banyak kalangan perempuan yang berpendapat bahwa perkawinan monogami adalah perkawinan yang paling baik. Ada beberapa alasan yang mendasari bahwa praktek perkawinan poligami lebih banyak menimbulkan kerugian daripada kentungannya. Alasan-alasan itu muncul karena banyak sekali dampak yang ditimbulkan terhadap istri yang suaminya berpoligami. Dampak-dampak yang muncul tersebut adalah:
1. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
4. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekuensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.

Namun, ada beberapa kelompok perempuan yang ikhlas menerima suaminya berpoligami. Adanya fakta bahwa sejumlah perempuan menerima poligami tidak menghilangkan hakekat diskriminasi seksual dalam institusi poligami tersebut; dan Penerimaan mereka terhadap poligami adalah bentuk ‘internalized oppression’ , yang mana sepanjang hidupnya perempuan telah disosialisasikan pada sistem nilai yang diskriminatif.

POLIGAMI DAN ISLAM
Islam pada dasarnya memperbolehkan seorang pria beristri lebih dari satu (poligami). Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3). Poligami dalam Islam baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat hukum yang memperketat aturan poligini untuk pegawai negeri, dan sedang dalam wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum. Tunisia adalah contoh negara arab dimana poligami tidak diperbolehkan.
Ungkapan "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Dalil "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa: 3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Sayangnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami disalahgunakan menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya.

Dalam definisi konsep, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang diajarkan oleh Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga? Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau.

Sehingga dapat kita lihat bahwa poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami.

POLIGAMI TAK BUTUH DUKUNGAN TEKS
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun struktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi/bangsawan ningrat, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Perempuan disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan setuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tidak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000).
Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan kerusakan. Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

HUKUM POLIGAMI DI INDONESIA
Di Indonesia, terdapat aturan yang mengatur tentang pernikahan poligami yakni dalam Pasal 3, 4 dan 5 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada pokoknya menyebutkan bahwa seorang suami boleh beristri lebih dengan izin Pengadilan. Izin ini dikeluarkan bila istri yang bersangkutan sakit dan tidak dapat melayani suami, tidak dapat memiliki keturunan atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai istri karena alasan lain. Pernyataan pasal tersebut mencerminkan bahwa Perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah satu jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/biologisnya Ketentuan ini telah menempatkan perempuan sebagai “sex provider” dan secara keseluruhan mencerminkan ideologi ‘phallosentris’ , yakni sistem nilai – melalui ketentuan ini dilegitimasi- yang berpusat pada kepentingan/kebutuhan sang phallus (penis).
Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu: adanya persetujuan dari istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material); adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial). Idealnya, jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan

UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia.

KETIKA SUAMI INGIN MENIKAH LAGI
Suatu saat, tanpa diduga suami Anda menyatakan bahwa dia akan menikahi perempuan lain. Atau bisa juga suami Anda telah menikah secara diam-diam dengan perempuan lain. Artinya, ada istri lain selain Anda dalam kehidupan suami Anda. Banyak perempuan tidak siap menghadapi hal ini. "Siapa sih yang mau dimadu?", demikian pameo yang seringkali terdengar menanggapi poligami ini. Beberapa istri memang kemudian lebih memilih bercerai ketimbang dimadu. Tetapi bagaimana dengan istri yang ‘tidak mampu’ bercerai (misalnya karena ketergantungan ekonomi pada suaminya).

Bagi para istri-istri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara mandiri, mungkin lebih memilih untuk ikhlas jika suaminya menikah lagi. Karena para istri-istri tersebut mempertimbangkan aspek masa depan sang buah hati. Mereka rela untuk menahan beban penderitaan demi anak-anaknya agar hidupnya tidak kekurangan. Dalam hukum Indonesia, poligami diperbolehkan asalkan sang suami mampu untuk bersikap adil baik dalam hal materi maupun non-materi. Mungkin sangat sulit mengharapkan keadilan, apalagi yang sifatnya immaterial dari suami yang menikah lagi dengan perempuan lain. Sehingga, ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika anda mengikhlaskan suami untuk berpoligami:
· Mempersiapkan diri
Menghadapi suami yang berniat poligami adalah sangat berat. Mental Anda harus siap menghadapi kemungkinan suami tidak lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh terhadap Anda. Anda harus bisa mengendalikan rasa cemburu ketika sang suami sedang bersama istri lainnya. Anda juga harus siap untuk menghadapi berbagai pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya. Selain itu juga, anda harus dapat memberi alasan yang tepat kepada buah hati mengenai keputusan yang anda ambil. Jangan sampai sang buah hati terganggu perkembangan psikologisnya. Karena baik secara langsung atau tidak langsung poligami yang dilakukan oleh sang ayah akan membuat anak terluka.
· Surat perjanjian dengan suami agar berlaku adil
Sebagai konsekuensi dari pembakuan peran dalam UU Perkawinan (suami adalah kepala keluarga dan istri pengurus rumah tangga) maka menjadi kewajiban suami untuk memenuhi nafkah bagi istri dan anaknya, juga memberikan biaya perawatan dan pendidikan anak. Begitupun ketika suami memutuskan menikah dengan perempuan lain, kewajiban itu tetap masih ada.
Kepastian dari suami untuk menjamin kebutuhan hidup Anda dan anak-anak Anda seringkali tidak dilaksanakan. Atau bisa juga, dana untuk kebutuhan itu harus didapatkan dengan susah payah, bahkan terkadang seperti ‘meminta-minta’. Bila keadaan itu menimpa Anda, maka menurut PP No. 9/1974 pasal 41 poin d yang pada intinya menyatakan bahwa Anda dapat meminta agar Pengadilan juga memeriksa ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil memenuhi kewajibannya dengan memerintahkan suami membuat surat pernyataan atau janji secara tertulis. Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dapat ditunjukkan dengan membuat surat pernyataan atau janji dari suami (pasal 41 poin d, PP No. 9/1975).
· Bantuan Hukum
Seringkali terjadi, para istri yang menerima suaminya berpoligami, akhirnya enggan untuk mengurus segala sesuatu, misalnya tentang nafkah. Hal ini diakibatkan karena istri sudah merasa kehilangan harapan. Atau bisa juga karena istri tidak mengetahui hak-haknya secara jelas. Bila ini terjadi pada Anda, Anda bisa meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu, diantaranya: Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan); Lembaga lain yang peduli pada persoalan perempuan; Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan dan Pengadilan yang memberikan ijin suami Anda berpoligami.

Lain halnya dengan kaum perempuan yang mandiri dan bekerja, mereka mungkin akan mengambil keputusan yang berbeda. Mereka lebih memilih untuk bercerai daripada harus menjalani kehidupan dipoligami. Seperti yang terjadi pada pernikahan artis Dewi Yull dan Ray Sahetapi. Dewi Yull memilih untuk menggugat cerai suaminya karena ia tidak ikhlas jika harus membagi suaminya dengan perempuan lain. Mereka yang memutuskan untuk bercerai tentunya memiliki keberanian yang kuat dan tekad yang teguh.

Namun, perceraian tersebut hendaknya dilakukan secara baik-baik mengingat banyak pihak yang akan dirugikan akibat perceraian tersebut. Jika kita melihat Berita di infotainment tentang salah satu artis yang sedang dalam proses perceraian saling menghujat satu sama lain, maka kita juga bisa melihat banyak pihak yang akan dirugikan yakni anak-anak dan hubungan tali sillaturahmi antara kedua keluarga yang sudah terjalin terancam putus. Hujatan tidak lagi dilontarkan oleh suami dan istri tetapi juga oleh keluarga suami dan keluarga istri. Perceraian yang diikuti dengan kemarahan hanya akan menyakiti semua orang yang ikut terlibat di dalamnya.

Tidak dapat dimengerti bagaimana dua orang yang dulunya amat sangat mencintai kini sanggup saling membenci dan menyakiti? Yang paling terluka akibat bendera permusuhan tersebut adalah anak-anak. Apa yang akan terjadi jika sikap saling menyerang dan menyakiti diketahui oleh anak-anak. Ketika suami istri mulai merinci kekurangan, berlomba dan mengatakan hal-hal buruk satu sama lain, memberi cacian dan makian satu sama lain, bahkan membongkar aib pasangan, lantas kenangan baik apakah yang dimiliki oleh anak-anak anda tentang orangtua mereka. Semua anak di dunia ini pasti menginginkan jika orangtuanya rukun dan tidak saling membenci. Mereka tentu memiliki pemikiran bahwa orangtua seharusnya saling menyayangi dan tidak berpisah. Kebencian dan kemarahan hanya akan membuat batin sang anak terluka dalam. Bahkan tidak mungkin jika sang anak memiliki perasaan untuk menyalahkan dirinya sendiri karena orangtuanya sering bertengkar.

Hal yang paling sering terjadi ketika suami berselingkuh, biasanya sang istri akan menumpahkan kemarahan dengan menjelek-jelekkan sang suami kepada anak sehingga timbul rasa kebencian terhadap ayah mereka dalam diri anak tersebut. Yang akan terjadi kemudian adalah putusnya hubungan orangtua dan anak. Untuk menghindari ini, ada beberapa hal penting yang harus dipahami oleh anda adalah cinta pada pasangan bisa hilang, suami istri bisa perpisah dan berakhir di perceraian. Namun, tidak ada yang dapat memutus hubungan yang sudah terjalin diantara orang tua dan anak. Dan karenanya, tidak ada seorangpun yang berhak merusak kenangan indah yang dimiliki anak-anak tentang ayah dan bunda mereka. Setelah anak-anak, yang menjadi korban adalah tali sillaturrahmi antara kedua keluarga yang telah dijalin bisa putus begitu saja.

Dapat diambil kesimpulan bahwa banyak hal yang akan dipertaruhkan ketika perceraian menjadi hal umum yang diketahui banyak pihak. Seandainya hal ini terjadi kepada anda, sebaiknya anda membuat kesepakatan dengan suami bahwa alasan perceraian itu hanya anda dan suami yang tahu. Yang bisa anda lakukan adalah memberi pengertian kepada lingkungan sekitar anda mengapa anda mengambil keputusan tersebut. Dengan sedikitnya orang yang mengetahui maka sedikit juga pihak-pihak yang akan terluka. Anak tidak akan membenci orangtuanya dan hubungan silaturrahmi antara kedua keluarga dapat terus dilakukan. Satu-satunya orang yang akan mungkin terluka adalah anda. Ketika anda mengambil keputusan untuk bercerai, anda harus siap dengan segala resikonya. Perempuan yang paling lemah sekalipun akan menjadi kuat jika ia memiliki semangat hidup untuk masa depannya sendiri.
Pada akhirnya, tidak peduli apakah keputusan yang anda ambil adalah bercerai atau ikhlas menerima, anda sebagai seorang perempuan berhak untuk bahagia. Apapun keputusan yang anda ambil harus berujung pada kebahagiaan anda dan bukan penderitaan. Memang, tak seorangpun perempuan di dunia ini ingin suaminya berpoligami, tak seorangpun perempuan di dunia ini yang ingin diceraikan atau menceraikan dan tak seorangpun perempuan yang tidak terluka hatinya ketika hati sang suami telah terbagi atau berpaling kepada hati perempuan lain. Namun, ketika itu semua harus terjadi seorang perempuan harus mampu untuk bangkit dan berjalan dengan tegak melangkah ke depan. Sejatinya, kekuatan dan keberanian merupakan intisari dari kecantikan seorang perempuan.

Tidak ada komentar: