2.12.2010

Lega

Senin (08/02), untuk pertama kalinya saya piket reksadana setelah berubah status menjadi pegawai tetap. Piket reksdana tidaklah sulit, hanya dibutuhkan kesabaran dan ketelitian. Akibatnya, saya pulang malam dan terpaksa menggunakan taxi untuk mengantar saya hingga sampai di kos karena bussway sudah tidak ada lagi.

"Selamat malam ibu, mau kemana arah tujuan kita?" tanya sopir taxi.

"Fatmawati lewat terogong, arteri jalan lurus," jawabku.

Belum lama saya menutup pintu taxi, tak lama hp saya berbunyi. Ah, ternyata ini nomor ibu saya yang menelpon. Mungkin, ibu saya ingin sekedar mengobrol ataukah ingin menanyakan kenapa smsnya tidak dibalas. Sejenak saya ragu untuk mengangkat telpon tersebut karena saya tahu kenapa topik itu akan berujung.

Namun, pada akhirnya saya menerima panggilan tersebut. Ternyata suara di seberang adalah adik bungsu saya yang masih kelas 1 SMU. Dia meminjam hp ibu saya karena pulsanya habis. Kemudian kami mengobrol. Adik saya menceritakan tentang kehidupan sekolahnya dan kesibukannya di mading sekolah. Ia juga bercerita berniat untuk mengikuti lomba mading yang diadakan deteksi, salah satu rubrik dalam koran Jawa Pos. Sebelumnya, ia memang pernah terlibat aktif dalam rubrik deteksi lewat sekolahnya.

Selama beberapa waktu, saya lega karena bukan ibu saya dan tidak ada topik tentang pernikahan. Sayang, tak lama kemudian, dia memberikan telepon itu kepada ibu saya dengan alasan ia ingin sholat isya. Ingin rasanya saya menutup sambungan telepon itu, tapi saya batalkan karena mendengarkan kegembiraan dalam nada bicara ibu saya.

Tidak banyak yang kami bicarakan, hanya pertanyaan tentang aktivitas hari ini dan alasan pulang larut malam. Yah, saya hanya katakan apa yang terjadi hari ini, bahwa saya sibuk di dpr komisi 6 sehingga tak membalas smsnya. Saya juga mengaku bahwa saya lupa dengan wajah paman saya yang katanya anggota DPR Komisi 6, dan saya tidak menemukannya. Namanya, memang ada dalam daftar nama anggota DPR Komisi 6 tapi jujur saya lupa yang mana paman saya.

Saya lega, karena obrolan sepanjang simprug hingga fatmawati tidak ada pertanyaan kapan menikah. Mungkin ibu saya sudah menyerah dengan argumen yang saya lontarkan. Saya juga lega, karena ibu saya tidak menegur karena lupa wajah paman saya. Saya sungguh lega ketika ibu saya tidak mulai mengomel ketika saya katakan saya baru saja pulang.

Tampaknya ibu saya sudah mengerti dan menerima profesi yang saya pilih. Bahkan ibu saya juga tidak memaksa saya untuk mengikuti tes CPNS. Kali ini, bukan saya yang mengibarkan bendera putih, melainkan ibu saya.

"Memaksamu juga tidak ada gunanya. Kamu keras kepala dan dari dulu kalau sudah memiliki kemauan, sulit untuk dilawan. Yang penting, ibu sudah melihat bahwa kamu bisa mempertanggungjawabkan pilihan itu. Ibu cuma bisa mendoakan semoga anak-anaknya sukses. Hati-hati dalam menjalankan semuanya, jangan lupa berdoa dan sholat lima waktu," itulah perkataan ibu saya yang sekali lagi merupakan bukti bahwa kasih sayang orang tua tak terhingga.

Mendengar itu, hati saya Lega. Lega bukan karena saya bisa memenangkan pertarungan itu tapi lebih karena apa yang saya jalani saat ini sudah mendapat restu dari orang tua. Restu yang sebelumnya sulit untuk diperoleh.

Setelah berbicara dengan ibu saya, ganti ayah saya yang ingin mengobrol. Tanpa tedeng aling-aling, ia langsung menyuruh saya untuk membawa motor karena khawatir dengan saya dalam taxi takut terkena tindak kejahatan.

"Motor dari mana? Belum mampu untuk mencicil atau membeli motor,".

Sekali lagi, ayah saya menawarkan masih ada satu motor di rumah yang tidak terlalu terpakai. Motor itu adalah motor yang saya pakai ketika kuliah. Dan sekali lagi saya menolak bantuan dari ayah saya. Karena saya sudah bisa hidup mandiri dan berusaha sebisa mungkin tidak menerima subsidi oleh orang tua dalam bentuk apapun. Malu dong, sudah memiliki penghasilan tetapi masih bergantung dan memanfaatkan fasilitas yang diberikan orang tua.

Lama kami berdebat tentang motor. Ayah saya memberikan kelebihan menggunakan motor ketimbang angkutan umum. Memang saya akui, lebih enak menggunakan motor tapi ini persoalan prinsip. Saya katakan kepada ayah saya bahwa, prinsip saya untuk hidup mandiri. Lagipula motor belum naik statusnya menjadi kebutuhan primer saya. Bukannya saya sombong dan tidak mau menerima pemberian orang tua, tetapi saya sudah pernah merasakan nikmatnya fasilitas-fasilitas yang diberikan orang tua saya semasa saya kuliah. Kini, saatnya saya untuk hidup mandiri.

Kemudian saya mengganti pembicaraan dengan topik PLN. Dan pengalihan itu berhasil. Saya lega karena tidak ada perdebatan dan ribut soal motor. Saya lega ketika ayah saya tidak mengungkit-ungkit tentang motor itu dan mengkaitkannya dengan pulang larut malam.

Hari itu, benar-benar hari yang melegakan untuk saya. Lega, karena pada akhirnya, keluarga saya mendukung dengan apa yang saya jalani. Lega, karena pada akhirnya saya membuktikan kepada orang tua saya bahwa saya juga bisa mengambil jalan saya sendiri walaupun bertentangan dengan kedua orang tua. Dan lega, karena orang tua saya sudah memaafkan jiwa pemberontak saya.

Sejak SMA saya sudah melawan arus dengan orang tua. Ketika SMA, saya sengaja memilih IPS dan bukan IPA sesuai keinginan orang tua yang ingin saya menjadi dokter. Kemudian, menginjak kuliah, saya memilih jurusan HI, sedangkan orang tua saya ingin saya mengambil ekonomi. Dan ketika kerja, saya memilih profesi wartawan sedangkan orang tua ingin saya menjadi pegawai negeri dan karyawan PLN. Saya sangat lega karena pilihan yang saya ambil sesuai hati saya sejauh ini tidak terlalu membawa dampak buruk. Kalaupun ada sesuatu yang salah, saya anggap itu sebagai pembelajaran dan proses untuk menuju kebenaran.

1 komentar:

naning story mengatakan...

hai..salam kenal..aku dah baca blog-nya//kunjungi blogku jg yaa..