11.10.2010

Itu Kursiku!!

Rabu (10/11) saya sungguh kesal sekali. Hari itu cuaca panas, Obama datang membuat jalanan macet, demo di bundaran HI semakin memperparah macetnya jalanan, kurang tidur (karena sedang menunggu kabar dari adik saya yang terjebak banjir bandang di Semarang) dan saya terserang flu. Tadinya memutuskan tidak akan masuk, namun dua pasukan desk bisnis juga tumbang membuat saya berpikir ulang. Toh, saya masih kuat untuk berdiri dan berjalan.

Setelah liputan di acara media gathering salah satu perusahaan plat merah, saya meluncur ke kantor. Kondisi badan yang tidak mendukung membuat saya pergi ke kantor karena sedang tidak ingin kemana-mana. Sampai di kantor, saya mendapatkan perhatian dari beberapa atasan, kolega kantor soal kondisi adik saya. Maklum, malam sebelumnya saya panik karena adik saya terjebak banjir bandang dan tidak bisa ditelp. Bercerita dengan mereka, cukup membuat saya terharu sekecil apapun perhatiannya. Karena, saya sangat mencintai dan menyayangi keluarga saya.

Namun, rasa senang itu hanya sebentar karena saya melihat seseorang telah menduduki kursi dan meja saya. Orang itu sebut saja dengan X. Mr. X ini sudah coba saya peringatkan bahwa itu kursi meja saya. Bahkan, salah seorang atasan saya juga pernah menegur dia. Kemudian, teman sebelah saya juga sudah memperingatkan. Tetapi seperti "Kanebo Kering" yang harus dibasahi terlebih dahulu baru basah. Saya tidak tahu apakah dia berpura-pura tidak tahu atau memang bandel. Yang jelas, hari itu saya sangat kesal sekali. Meski kesal, saya mencoba untuk berpikir positif.

Rasa kesal itu ditambah dengan ketika saya harus pindah. Oh, my God, saya terusir di meja kursi saya sendiri. What a damn shit!!! Memang, saya tidak mencoba untuk menegurnya tetapi, saya berpikir dia seharusnya tahu diri. Karena dia sudah diberitahu berkali-kali. Lain halnya jika dia sama sekali tidak diberitahu. Saya diam, karena saya tidak ingin membuat dia malu dengan mengusirnya. Jangankan mengalah, meminta ijin untuk menempati meja saya tidak pernah sekalipun terucap di mulutnya. Dimana letak sopan santunmu?

Teman sebelah meja saya, mengatakan," Dia sudah pernah tak kasih tau jangan duduk situ kalo Feni datang gimana," kata dia.

Jawaban dari Mr. X itu sontak membuat saya emosi. "Trus dia bilang, mbak Feni kan gak pernah ke kantor," tambah teman yang duduk di sebelah meja saya.

Ingin saya bilang kepada dia: "Hei lo itu anak baru. Anak baru mestinya turun lapangan dan nyari berita dan ga ngendon sendirian di belakang meja kaya orang kantoran. Kalo lo takut panas, jangan jadi wartawan!!"

Jelas saja saya tidak pernah di kantor, karena saya benar2 mencari berita. Menggali isu, bertemu dengan narasumber. Telepon boleh saja dilakukan, tetapi dalam kondisi tertentu. Bukan juga saya iri, karena saya dulu sebagai calon reporter banting setir ke sana ke sini. Liputan hingga Deptan, Ragunan dan kembali ke kantor saya tak pernah keberatan. Karena itu memang tugas saya dan saya bersyukur, redaktur-redaktur saya dahulu memberi tugas itu kepada saya. Sementara dia, dia enak2an di kantor dan selalu sms minta nomor ini dan minta nomor itu. Saya ingat, pertama kali dia mensms saya: "Mbak, aku minta semua nomor sumber migas, perusahaan migas dan tambang jadi kalau ada yang mau di fu lebih gampang. Kata mas M, aku suruh melengkapi beritamu," kata dia.

Setidaknya, dia bisa meminta dengan sopan. Semua nomor narasumber. Oh, Holly shit. Satu yang terlintas dalam benak saya: Enak saja! saya mencari nomor-nomor itu setengah mati berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam sehari. Berpanas ria, belum ketambahan diusir satpam karena takut diminta sumbangan, dan lain sebagainya. Dan kamu, sebagai anak baru cuma sebagai pelengkap berita dan menelpon. Kalau di awal sudah minta enak, gimana ke belakangnya. Saya tak pernah pelit untuk memberi nomor kontak, tapi sms dia membuat saya kesal. Emang dia siapa, sms seperti itu kepada saya? atasan saya juga bukan.

Kembali ke masalah kursi, kenapa saya ingin duduk di situ bukan karena saya arogan untuk membuktikan saya lebih senior. Bukan itu, karena kursi meja itu adalah rumah saya. Lantas, kenapa ketika saya jarang ke kantor, langsung dia tidak menganggap saya ada. Apakah saya siluman, alien atau jin yang tidak ada bekasnya. Saya memang jarang ke kantor tapi karena saya bekerja di sana, suatu saat nanti pasti saya kembali ke kantor itu. Saya tidak keberatan, jika dia mau duduk di kursi saya, tetapi jika itu tidak ada saya. Selama saya ada, carilah tempat duduk yang lain. Dan saya heran, hanya dia yang sulit untuk diberitahu. Lagipula mencari rumah sendiri kan lebih enak.

Memang, saya bisa duduk di mana saja. Karena pada Rabu itu karena investor summit, banyak yang tidak ke kantor. Tetapi aneh rasanya ketika menduduki kursi meja orang lain. Karena, memang itu bukan tempat saya. Apa yang saya alami seolah-olah, saya memiliki rumah namun saya tidak bisa menempati rumah itu sehingga saya harus pergi karena ada orang lain yang bukan pemilik rumah memaksa masuk dan tinggal di rumah itu. Sedangkan, si pemilik rumah harus mencari-cari rumah yang lain.

Lalu, apa yang harus saya lakukan. Apakah saya mengusirnya secara terang-terangan ataukah saya harus menuliskan: Don't sit here except Feni. Ataukah, saya harus diam saja dan membiarkan dia merajalela. Sudah cukup saya mengalah. Lagi-lagi kata itu yang muncul "mengalah".

Fatmawati
10/11/2010
23.45

Tidak ada komentar: