4.17.2011

Bosan dengan Pengusaha (yang selalu) mengeluh Melihat dari kacamata wartawan energi

Perbaikan lapangan Santos di Madura membuat para pengusaha di Jawa Timur berteriak mengeluhkan kekurangan gas. Padahal, unplanned shutdown (penghentian produksi yang tidak terencana) saja belum terjadi. Menurut keterangan resmi dari BP Migas, pemerintah tidak akan begitu saja menghentikan lapangan Santos tanpa dengan mengganti dengan pasokan gas dari tempat lain. Para pengusaha mengeluhkan upaya pemerintah untuk menjual gas LNG ke luar negeri sedangkan kebutuhan dalam negeri masih kurang.

Dulu, pada awalnya saya akan membantu pengusaha untuk memperjuangkan kebutuhan gas. Saya pasti akan bersemangat menulis untuk menumbangkan rencana pemerintah mengekspor gas. Bukan membela kepentingan pengusaha melainkan lebih kepada ketahanan energi di dalam negeri. Apalagi dampak dari berkurangnya pasokan gas akan merembet kepada persoalan tenaga kerja dan penutupan pabrik.

Kini, saya bosan dengan semua itu. Sebab, pengusaha dan kelompok industri hanya bisa mengeluh saja. Mereka [pengusaha/industri] tidak mau keuntungannya berkurang sehingga mereka meminta insentif ini dan insentif itu. Padahal upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah. Saya sependapat dengan opini ibu Sri Mulyani bahwa pengusaha Indonesia tergolong manja.

Persoalan gas memang persoalan klasik. Sejak saya memasuki desk energi, kebutuhan gas dalam negeri selalu kurang dan terbentur dengan jumlah gas yang terbang ke luar negeri. Saat ini, yang menjadi perdebatan adalah keinginan pemerintah untuk menjual tambahan produksi kargo gas LNG ke Jepang. Sebab, negeri asal Hideaki Takizawa tersebut sedang membutuhkan tambahan LNG sebagai bahan bakar akibat matinya pembangkit nuklir di sana. Namun, kalangan industri menentang habis-habisan rencana ini karena industri kekurangan gas.

Pendapat pribadi saya, biarlah LNG tambahan itu terbang ke negeri tempat tinggal Dorameon tersebut. Toh, yang dijual adalah kelebihan produksi gas LNG. Artinya, produk yang dikirim saat ini sudah diolah dalam bentuk LNG. Kalaupun di jual di dalam negeri, apakah sudah ada fasilitas pengubahnya? Karena, industri menggunakan gas pipa bukan LNG. Sehingga pilihan ekspor adalah pilihan yang masuk akal. Daripada kargo itu rusak, lebih baik di jual ke luar negeri sebagai tambahan pendapatan negara.

Memang, pemerintah juga salah tidak mau membangun infrastruktur gas. Pipa untuk gas yang dibangun oleh PGN, jumlahnya masih terbatas. Karena margin bisnis pipa sangat kecil untungnya membuat hanya PGN yang mau membangun pipa. Sedangkan receiving terminal LNG (fasilitas pengubah LNG menjadi gas) yang sedianya dibangun di Teluk Jakarta dan Belawan masih belum jelas nasibnya. Padahal kehadiran receiving terminal LNG ini sangat dinantikan kehadirannya. Tak hanya untuk kepentingan industri tetapi juga kepentingan perusahaan setrum nasional. Kalau receiving terminal sudah ada, produksi LNG Tangguh, LNG Bontang dan LNG manapun bisa dipergunakan di dalam negeri.

Bahkan, saya setuju jika produksi LNG Tangguh yang dialokasikan ke China diputus kontraknya dan dialihkan ke delam negeri. Sebab, LNG yang dikirim ke negara tempat Hang Deng (mantan suju) tinggal tersebut harganya murah sekitar US$ 3,5 per mmbtu. Dalam negeri berani membeli gas LNG dengan harga US$ 6,5 per mmbtu. Jepang saja membeli LNG dengan harga US$ 16 per mmbtu. Sayup-sayup terdengar kabar bahwa Renegoisasi harga dengan China mengalami kegagalan. Cuman, masalahnya hingga hari ini kita belum memiliki receiving terminal.

Saya pernah berdebat dengan salah satu pengusaha soal gas ini. Entah tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti, si pengusaha itu tetap bersikukuh untuk meminta jatah ekspor LNG ke Jepang buat industri. Lalu saya tanya balik, "trus pak kita mengubahnya pakai apa? cara mengolah LNG supaya menjadi gas bagaimana caranya?". Tanpa tedeng aling-aling, si pengusaha langsung menuding pemerintah untuk membuat receiving terminal.

Kemudian saya tantang bapak pengusaha itu lagi, "Pak kenapa tidak Forum Industri Pengguna Gas bumi (FIPG) membentuk usaha patungan untuk membuat receiving terminal, toh itu untuk kebutuhan industri. Sama seperti PLN yang menggendeng Pertamina membangun receiving terminal skala kecil di 8 lokasi di Indonesia Timur? Sehingga, nanti industri bisa minta gasnya dari mana saja". Bapak itu diam tidak menjawab. Well, saya menebak, pasti hitung-hitungannya tidak masuk dalam skala pengusaha. Margin untungnya kecil, sementara untuk membuat receiving terminal membutuhkan biaya investasi setidaknya US$ 200 juta dengan kapasitas 1,5 mtpa.

Keluhan lain adalah soal capping tarif dasar listrik dan diskon tengah malam. Soal capping listrik, para pelaku industri menuntut diberlakukannya capping. Sebab, terdapat beberapa industri yang kenaikannya lebih dari 18% (batas kenaikan tdl yang ditetapkan pemerintah). Ketika pelanggan bisnis sudah dicabut cappingnya, pelanggan industri masih meminta supaya capping tidak dicabut. Lagi-lagi mereka menggunakan alasan kompetitif alias daya saing menjadi lemah karena biaya tinggi. Akibatnya harga naik dan bisa banyak pengangguran. Ancaman yang selalu sama yang digunakan oleh pengusaha industri ketika tuntutannya tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Duh, padahal tarif dasar listrik kita tidak pernah naik sejak 2003 silam. Kenaikan tarif dasar listrik pada 2010 cukup wajar. Sebab, saat ini harga minyak naik terus mengakibatkan bpp listrik PLN juga naik. Apakah selamanya kita akan bergantung kepada subsidi? Bukankah lebih baik kita menjadi warga mandiri yang dapat berdikari? Pelan-pelan, kita harus lepas dari ketergantungan terhadap subsidi.

Sementara untuk diskon tengah malam, PLN berjanji memberikan fasilitas diskon 20% bagi industri yang mau menggeser jam kerjanya dari waktu beban puncak ke waktu bukan beban puncak. Tujuannya PLN akan melakukan penghematan beban dan bahan bakar. Sebab, ketika beban puncak terjadi, PLN selalu membakar bahan bakar minyak (bbm). Tak disangka ternyata pengusaha minta supaya diskonnya dinaikkan antara 20% hingga 50%. Oalah, sudah dikasih hati tapi minta jantung.

Mereka [pengusaha] beralasan pasti ada tambahan biaya karena harus ada upah lembur sebagai kompensansi penggeseran jam kerja. Mereka menghitung 20% belum cukup untuk membuat keuntungan mereka semakin melar. Bahkan, ada juga pengusaha yang menolak rencana itu karena tidak mau membayar upah lembur. Padahal, jika ini berjalan, cukup win-win solution. PLN senang karena hemat dan beban puncak berkurang sedangkan industri juga menang bisa menjalankan pabrik tanpa byar pet. Ke depan, PLN juga bersedia mengganti tambahan biaya untuk industri yang menggunakan genset dan bukan listrik PLN ketika waktu beban puncak. Sudah enak begini, pengusaha industri mau model seperti apa lagi?

Lalu, ada satu insentif yang mereka minta dan mampu membuat saya geram adalah ketika pengusaha meminta pemerintah mensubsidi bbm industri. Sebab, harga minyak yang terus melambung tinggi membuat pengusaha ini ketar-ketir. Pengusaha mengeluh, jika ini terus berlangsung, industri banyak yang gulung tikar. Si bospun menyuruh untuk mem-fu ini kepada pemerintah apakah ada insentif seperti itu atau tidak. Fiuh, pengusaha ini mau enaknya. Mereka tak mau mengeluarkan biaya tambahan karena harga minyak naik.

Menurut pendapat saya, kenapa sih mereka tidak menyesuaikan saja harganya dengan harga bbm? Jika harga bbm naik, harga produk dinaikkan. Tapi jika harga bbm turun, harga produk juga bisa turun. Mereka [pengusaha] tidak layak diberikan insentif subsidi bbm industri. Karena mereka bisa mandiri. Toh, keuntungan dinikmati sendiri masa pemerintah juga yang menanggung biaya bbm. Sementara pengusaha itu menetapkan harga jual seenaknya. Saya belum pernah melihat pengusaha menurunkan harga jual meski harga minyak turun. Sudah saatnya pengusaha di Indonesia mandiri dan tidak manja. Kalau manja seperti ini terus, bagaimana bisa bersaing dengan perusahaan-perusahaan internasional?

Tidak ada komentar: