12.23.2008

2009: SNI ritel dan pemasok tidak dapat diterapkan

JAKAARTA- Pembahasan tentang SNI (Standar Nasional Indonesia) yang mengatur antara pemasok dan peritel belum dapat diterapkan pada tahun 2009 karena hingga akhir 2008 belum tercipta kesepakatan antara pemasok dan peritel. "Sudah dilakukan perundingan sejak Januari 2008," ujar Kepala Pusat Standardisasi, Frida Adiati di Jakarta (17/12). Menurut Catatan Indonesia BUsiness Today, pembahasan draf RSNI telah mengalami beberapa kali pertemuan yakni tanggal 30 Januari 2008, 11 Maret 2008, 1 April 2008, 24 April 2008, 28 Mei 2008, 21 Juli 2008, dan 19 November 2008.

Frida mengatakan bahwa usulan adanya penerapan SNI antara pemasok dan peritel ini karena adanya usulan dari beberapa dinas provinsi kabupaten atau kota tentang perlunya disusun standar jasa perdagangan besar untuk kebutuhan yang kemudian berkembang menjadi ketentuan perdagangan antara pemasok dan toko eceran.

Usulan tersebut, menurut Frida dilatarbelakangi oleh maraknya pertumbuhan usaha perdagangan eceran modern skala besar. Berdasarkan data yang diperoleh Indonesia BUsiness Today bahwa pertumbuhan rata-rata supermarket sebesar 85 persen pertahunnya dan pertumbuhan hypermarket mencapai 27 persen pertahun. "SNI itu untuk mengatur hubungan antara pemasok dan peritel agar saling menguntungkan," ujar Frida.

Selama ini, posisi tawar pemasok barang terhadap toko eceran modern yang dapat mengarah pada hubungan yang tidak menguntungkan bahkan dapt memunculkan tekanan terhadap pemasok kecil serta berpotensi menjadi unfair business practise.

Frida menjelaskan bahwa bentuk SNI ada tiga jenis yakni SNI produk, SNI manajemen dan SNI pedoman. Ia menambahkan bahwa SNI antara pemasok dan peritel ini menyediakan pedoman hubungan usaha dan penerapannya. "Mencega penyalahgunaan posisi tawar yang dominan baik dilihat dari sisi pemasok maupun toko eceran modern," ujar Frida.

Berdasarkan draf RSNI, ada 43 syarat yang harus dimiliki pemasok, antara lain peraturan dan standar yang berlaku, mutu yang disepakati, hak atas kekayaan intelektual, surat keterangan asal, dokumen lain, penarikan produk, standard operation procedure.

Selain itu, label dan kemasan, pre-pricing, sampel yang ditawarkan, barang baru, sistem traceability, bukti jaminan mutu, kesediaan diversifikasi produk, audit dan inspeksi oleh toko modern, regular discount, fixed rebate, conditional rebate, promotion discount, promotion budget, distribution cost, listing fee, pengiriman barang tepat waktu, denda penundaan pengiriman (14 hari), dan denda pembatalan (21 hari).

Frida kemudian menguraikan bahwa SNI ini jika akan diteruskan maka akan berdiri sendiri dan berbeda dengan juklak permendag tentang perpres penataan pasar modern 112/2007. "Tidak bertentangan dengan ketentuan yang sudah ada," jelas Frida.

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pemasok Pasar Modern (AP3MI), Susanto dengan jelas menolak kesepakatan tentang adannya SNI tersebut karena menurut Susanto terlalu banyak aturan. "Juklak saja sudah cukup. Juklak itu enggak beres-beres, masa harus ada aturan lagi," ujar Susanto.

Susanto menegaskan bahwa Aprindo sebagai asosiasi peritel saja tidak menyetujui kesepakatan tersebut sehingga bagaimana bisa SNI dipaksakan."ini kan trlalu banyak aturannya, hars ada alasan audit segala. ribet sekarang," jelas Susanto.

Berbeda dengan susanto, Direktur Eksekutif Nampa (National Meat Processor Association), Haniwar Syarif mengatakan bahwa pihaknya setuju jika diberlakukan dengan SNI asalkan ada SNI tersebut merupakan penjelasan dari Juklak permendag yang sudah ada."tapi kalo arahnya bertentangan maka kita tidak mau, karena itu yang kita minta kejelasannya," ujar Haniwar. Fitri Nur Arifenie

Tidak ada komentar: